Anggaran Pengentasan Kemiskinan Rp 500 T Tidak Efektif, Harus Ada Perubahan Paradigma
JAKARTA – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Abdullah Azwar Anas, mengatakan anggaran pengentasan kemiskinan sebesar Rp 500 triliun pada 2022 yang tersebar di kementerian dan lembaga di Tanah Air tidak efektif.
Pasalnya alokasi anggaran ternyata lebih banyak diserap untuk aktivitas rapat dan studi banding para birokrat ketimbang untuk menanggulangi kemiskinan itu sendiri.
“Saya sudah lapor kepada Bapak Presiden, hampir Rp500 triliun anggaran kita untuk anggaran kemiskinan yang tersebar di kementerian dan lembaga,” ujar Azwar Anas, Jumat (27/1/2023).
Tetapi, sambungnya, sebaran ini tidak inline dengan target prioritas presiden karena kementerian dan lembaga sibuk dengan urusan masing-masing.
Menanggapi pernyataan Azwar Anas, dosen UGM Yogyakarta, Hempri Suyatna menilai, ketidakefektifan program-program pengentasan kemiskinan, sebenarnya sudah dimulai dari birokrat sendiri.
“Itu, saya kira bentuk-bentuk komodifikasi kemiskinan. Artinya, bahwa kemiskinan itu masih dipandang sebagai sebuah proyek. Kemiskinan itu masih dipandang sebagai sebuah komoditi,” ujarnya kepada VOA, Minggu (29/1/2023).
“Akhirnya, justru elite pemerintah lupa, bahwa pengentasan kemiskinan adalah merupakan sebuah komitmen moral dalam membantu masyarakat,” tambah dia.
Hempri, mengutip pernyataan Menteri PAN-RB, mengatakan dari sisi praktik anggaran sebenarnya perubahan bisa dilakukan.
Jika selama ini rapat-rapat terkait kemiskinan diselenggarakan di hotel berbintang, maka bisa saja praktik itu dipindah ke tengah masyarakat.
Rapat terkait upaya pengentasan kemiskinan, digelar di desa dengan melibatkan masyarakat itu sendiri.
Pola semacam itu, paling tidak bisa mengalihkan anggaran rapat dan studi banding, agar langsung mengalir ke masyarakat desa dan sekaligus berdampak pada upaya pemberdayaan.
Langkah kecil itu juga akan berdampak langsung pada program pengentasan kemiskinan.
Pembenahan kecil itu bisa dijalankan, jika memang rapat mengenai kemiskinan masih perlu dilakukan.
Namun, Hempri mendorong perubahan yang lebih mendasar, yang dia sebut sebagai perubahan paradigma pengentasan kemiskinan dan perubahan paradigma pemberdayaan.
“Karena selama ini, banyak program-program berlabel pemberdayaan, tapi ternyata kalau kita lihat sisi substansinya, tidak mencerminkan sebagai sebuah program pemberdayaan,” ujarnya.
Dasar perubahannya adalah memindah pola pikir, dari pengentasan kemiskinan sebagai sebuah proyek, menjadi bagian dari komitmen moral.
“Sehingga, filosofi program pengentasan kemiskinan, akan mengarah pada substansi program. Pemberdayaan bukan semata-matanya label. Program-program yang dikembangkan masyarakat sendiri, berorientasi pada kemandirian dan pengembangan kapasitas masyarakat miskin,” tegasnya. (*)