Ancaman Kekerasan Terhadap Jurnalis Masih Terjadi, 86,9 Persen Dialami Perempuan

MEDAN – Ancaman kekerasan terhadap jurnalis masih terjadi di Indonesia.
Hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, menemukan berbagai bentuk kekerasan yang dialami insan pers.
Hasil survei tersebut, sebanyak 86,9 persennya jurnalis perempuan menghadapi ancaman kekerasan saat menjalankan tugas di lapangan ataupun di kantor.
“Hasil survei AJI Indonesia kami menemukan berbagai bentuk kekerasan yang dialami insan pers dalam menjalankan tugasnya,” kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu pada pelaksanaan puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN), di Gedung Serbaguna Pemprov Sumut, Kamis (9/2/2023).
“86,9 persen khusus untuk jurnalis perempuan menghadapi ancaman kekerasan baik dalam menjalankan tugas di lapangan maupun di kantor,” sambung Ninik.
Ninik menjelaskan ruang yang kondusif bagi jurnalis sangat penting dalam menjalankan tugasnya.
Situasi yang kondusif dibutuhkan dalam lingkungan politik, sosial dan ekonomi.
Indeks kebebasan pers di Indonesia, lanjut Ninik, masih berada pada kategori bebas. Pada skala nasional, Indonesia memegang skor 77,86.
Skor ini naik tipis sebesar 1,86 poin dibandingkan tahun 2022. Tentu sebagai bangsa kita tidak akan berhenti membangun inovasi dan profesionalitas pers di Indonesia.
Dilansir dari akun @Ajiindonesia, AJI Indonesia bersama Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dan Dewan Pers mengadakan pertemuan untuk membahas hasil riset Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis Perempuan Indonesia dan Panduan Membuat SOP bagi Perusahaan Pers untuk Mengatasi Kekerasan Seksual di Dunia Kerja.
Riset kolaborasi AJI dan PR2Media tersebut dilakukan salah satunya karena banyak di antara yang pernah mendengar kasus kekerasan seksual di perusahaan pers atau dunia kerja jurnalis.
Tapi kasus tersebut sabatas menjadi desas-desus di komunitas pers.
Tak banyak korban kekerasan seksual yang berani bersuara.
Kalaupun berani mengungkap, kadangkala kasusnya berhenti di tengah jalan lantaran tidak ada aturan khusus di perusahaan pers untuk menangani kasus kekerasan seksual.
Kondisi ini akan semakin memburuk jika dibiarkan.
Harus ada ruang yang tepat bagi korban untuk berani bersuara dan kita bisa memahami bersama duduk persoalan untuk mencari jalan keluar.
Adapun buku panduan dibuat untuk memudahkan perusahaan pers menyusun prosedur operasional standar (standard operating procedure/SOP) penanganan kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan.
Buku ini memuat hal-hal pokok yang dapat dijadikan pedoman bagi perusahaan pers untuk merumuskan panduan dan prinsip-prinsip dalam penyusunan SOP. (*)