Kajianberita.com
Beranda Headline ICW Bersuara Lantang, Coblos Parpol = Belenggu Hak Rakyat!

ICW Bersuara Lantang, Coblos Parpol = Belenggu Hak Rakyat!

Ilustrasi pemilu 2024. (Kajianberita)

PENERAPAN pencoblosan sistem proporsional tertutup yang hanya mencoblos gambar partai dan bukan caleg pada pemilu 2024 masih terus mendapatkan penolakan dari sejumlah elemen.

Tak terkecuali dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Bahkan ICW menganggap sistem proporsional tertutup sama saja dengan membelenggu hak rakyat.

Bahkan ICW juga menilai jika sistem proporsional tertutup dianggap menyediakan ruang gelap bagi politik uang.

“Polemik sistem pemilu proporsional tertutup upaya belenggu hak rakyat dan ruang gelap politik uang,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangan pers, Selasa (24/1/2023).

ICW turut membeberkan sejumlah alasan. Pertama, menurutnya sistem proporsional tertutup menjauhkan partisipasi masyarakat dalam menentukan calon wakilnya di lembaga legislatif.

“Bagaimana tidak, penentuan calon anggota legislatif yang akan terpilih bukan berada pada masyarakat, melainkan di internal partai politik,” kata Kurnia.

Kedua, sambung Kurnia, proporsional tertutup dianggap sama sekali tidak menghapus tren politik uang, melainkan hanya memindahkan, dari calon ke masyarakat menjadi calon ke partai politik. Sebab, kandidat terpilih bergantung pada nomor urut calon anggota legislatif yang ditentukan sepenuhnya oleh partai politik.

“Ketiga, proporsional tertutup membuka ruang terjadinya nepotisme di internal partai politik. Bukan tidak mungkin, calon-calon yang memiliki relasi dengan struktural partai dapat dimudahkan untuk mendapatkan nomor urut tertentu,” ucapnya lagi.

Keempat, menurutnya sistem proporsional tertutup berpotensi menghilangkan relasi dan tanggung jawab anggota legislatif kepada rakyat.

“Bagaimana tidak, penentuan akhir keterpilihan calon berada di bawah kekuasaan partai dan oleh karenanya anggota legislatif terpilih hanya akan bertanggung jawab kepada partai politik. Bisa dibayangkan, masih dalam tahap pencalonan saja, proses penjaringan calon anggota legislatif terbilang sangat tertutup,” ujarnya

Atas dasar itulah, lanjut Kurnia, tak mengherankan jika pada 2019 mereka secara serampangan mengusung 72 calon anggota legislatif bahkan calon yang pernah menyandang status narapidana korupsi.

“Dengan logika yang sama, tentu sulit menaruh kepercayaan kepada partai politik menentukan sendiri calon terpilih melalui skema proporsional tertutup,” pungkas Kurnia.

Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Zainal Arifin Mochtar, juga sempat berbicara soal wacana ini.

Dalam pernyataannya, Ketua Departemen Hukum Tata Negara di FH UGM ini mengisyaratkan tentang kecenderungan masyarakat yang tetap menghendaki sistem proporsional terbuka.

“Kondisilah yang menjawabnya,” ujar Zainal Arifin Mochtar dalam keterangan tertulis, Senin (16/1/2023).

Mengurai sistem proporsional terbuka dan tertutup, ia menegaskan bahwa keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kendati demikian, dia juga menjelaskan tentang hak demokratis masyarakat untuk mencoblos calon anggota legislatif yang dikehendakinya, dengan berbagai pertimbangan antara lain kemampuan dan integritasnya.

“Jadi tidak sekadar membeli kucing dalam karung, seperti di sistem proporsional tertutup di mana partai yang lebih berhak menentukan calon anggota legislatifnya,” ungkapnya.

Lalu, ada juga Perludem yang meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sistem pemilu proporsional tertutup. Sebab, bagi Perludem, perubahan tersebut harus menghadirkan proses partisipasi masyarakat, bukan kewenangan MK.

“Pilihan atas sistem pemilu legislatif apa yang akan diambil, sejatinya merupakan hasil konsensus pembentuk undang-undang yang harus menghadirkan proses partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dalam pembuatan keputusannya. Dalam hal ini, bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menentukan sistem pemilu atau varian sistem pemilu mana yang konstitusional untuk diadopsi dalam penyelenggaraan pemilu legislatif di Indonesia,” kata anggota Dewan Penasihat Perludem, Titi Anggraini, kepada wartawan, Senin (12/12/2022).

Untuk diketahui, sistem pemilu proporsional terbuka sedang digugat ke MK. Pemohon adalah:

1. Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo)
2. Yuwono Pintadi
3. Fahrurrozi (bacaleg 2024)
4. Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel)
5. Riyanto (warga Pekalongan)
6. Nono Marijono (warga Depok)

Pemohon beralasan, parpol mempunyai fungsi merekrut calon anggota legislatif yang memenuhi syarat dan berkualitas. Oleh sebab itu, parpol berwenang menentukan caleg yang akan duduk di lembaga legislatif.

“Menyatakan frase ‘proporsional’ Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sistem proporsional tertutup’,” urai pemohon.

Sistem proporsional tertutup memiliki karakteristik pada konsep kedaulatan parpol. Parpol memiliki kedaulatan menentukan kadernya duduk di lembaga perwakilan melalui serangkaian proses pendidikan dan rekrutmen politik yang dilakukan secara demokratis sebagai amanat UU Parpol.

“Dengan demikian, ada jaminan kepada pemilih calon yang dipilih parpol memiliki kualitas dan kemampuan sebagai wakil rakyat,” bebernya.

Polemik ini tentu saja makin ramai apalagi diketahui jika 8 parpol di Senayan kompak menolak sistem proporsional tertutup. (*)

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

google.com, pub-4618385670255637, DIRECT, f08c47fec0942fa0