Hakim Tegaskan Brigadir J tidak Lakukan Pelecehan Seks Terhadap Putri Candrawathi
Jakarta — Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan motif kekerasan seksual atau pelecehan terhadap Putri Candrawathi yang menjadi pemicu pembunuhan berencanca terhadap Brigadir J tidak dapat dibuktikan menurut hukum.
Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso mengatakan bahwa dugaan kekerasan seksual sebagai pemicu penembakan, sebagaimana dalil yang disampaikan kbu Ferdy Sambo, patut dikesampingkan.
“Sehingga terhadap adanya alasan demikian (motif kekerasan seksual, red) patut dikesampingkan,” kata Hakim Wahyu dalam sidang dengan agenda pembacaan vonis terdakwa Ferdy Sambo di PN Jaksel, Senin (13/2).
Menurut Hakim Wahyu, motif yang tepat ialah adanya sikap mendiang Brigadir J yang membuat Putri Candrawathi sakit hati yang begitu mendalam.
“Sehingga, motif yang lebih tepat menurut majelis hakim, adanya perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang mana perbuatan atau sikap korban tersebut yang menimbulkan perasaan sakit hati yang begitu mendalam terhadap Putri Candrawathi,” ucap Hakim Wahyu.
Majelis hakim tidak memiliki keyakinan bahwa Brigadir J melakukan pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi.
“Majelis tidak memperoleh keyakinan yang cukup bahwa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat telah melakukan pelecehan seksual atau perkosaan atau lebih dari itu kepada Putri Candrawathi,” ucap Wahyu.
Dalam persidangan sebelumnya, JPU menyimpulkan bahwa tidak ada petistiwa pelecehan yang dialami Putri Candrawathi di Magelang, Jawa Tengah, pada 7 Juli 2022. Menurut JPU, peristiwa yang terjadi ialah perselingkuhan antara Putri Candrawathi dan korban Brigadir J. Dasar Kesimpulan JPU
Jaksa menyakini Kuat Ma’ruf sebagai sopir keluarga Ferdy Sambo mengetahui perselingkuhan antara Putri Candrawathi dengan Brigadir J. Menurut JPU, peristiwa yang terjadi ialah perselingkuhan antara Putri dan mendiang Brigadir J.
Jaksa menyakini Kuat Ma’ruf sebagai sopir keluarga Ferdy Sambo mengetahui perselingkuhan antara Putri Candrawathi dengan Brigadir J. Menurut JPU, peristiwa itu memicu keributan antara Kuat Ma’ruf dengan Yosua.
Pada saat itu, pria bertubuh tambun itu menghunus pisau dapur sembari mengejar Yosua. JPU menjelaskan Putri Candrawathi mengetahui keributan itu. Selanjutnya, Putri menelepon Richard Eliezer dan Ricky Rizal yang sedang berada di sekitar Masjid Alun-Alun Kota Magelang.
Oleh karena itu, JPU tidak setuju dengan keterangan ahli dari Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) Reni Kusumawardhani perihal dugaan pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi.
“Keterangan Dokter Reni terkait kekerasan seksual yang dialami PC bertentangan dengan keterangan ahli lain yang telah diambil sumpahnya di persidangan,” kata jaksa.
Selain itu, JPU juga merujuk pada keterangan dari ahli poligraf, Aji Febriyanto, yang pernah dihadirkan pada persidangan perkara itu. Pendapat ahli poligraf tersebut menunjukkan Putri terindikasi berbohong saat disodori pertanyaan ‘Apakah Anda berselingkuh dengan Yosua di Magelang?
PU pun menganggap motif pembunuhan terhadap Yosua didasari perselingkuhan. Hal itu juga diperkuat pendapat ahli kriminologi Muhammad Mustofa.
“Prof M Mustofa mengatakan pelecehan seksual dapat menjadi motif dalam perkara ini apabila dikuatkan dengan alat bukti,” kata jaksa.
JPU menegaskan fakta persidangan juga menunjukkan tidak adanya kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi. Menurut JPU, Richard Eliezer maupun salah satu asisten rumah tangga (ART) keluarga Ferdy Sambo, Susi, tidak mengetahui soal pelecehan di rumah Magelang pada 7 Juli 2022.
Jaksa juga mempersoalkan pengakuan soal Putri Candrawathi tidak mandi ataupun membersihkan badan dan berganti pakaian jika memang telah mengalami pelecehan seksual. Hal itu dianggap ganjil karena Putri berpendidikan dokter.
Menurut JPU, Richard Eliezer maupun salah satu asisten rumah tangga (ART) keluarga Ferdy Sambo, Susi, tidak mengetahui soal pelecehan di rumah Magelang pada 7 Juli 2022. Hal lain yang membuat JPU kian yakin soal adanya perselingkunan ialah momen Putri Candrawathi meminta berbicara dengan Yosua selama 10—15 menit dalam kamar tertutup
Selain itu, hal ganjil lainnya ialah Ferdy Sambo justru meminta Putri Candrawathi tidak melakukam visum. Menurut JPU, Ferdy Sambo sebagai polisi yang berpegalaman sebagai penyidik semestinya paham soal pentingnya visum terhadap korban tindak pidana.
“Sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi pelecehanan pada 7 Juli 2022 di Magelang, melainkan perselingkuhan antara saksi PC dan korban Yosua,” kata JPU Akhirnya, JPU menuntut Ferdy Sambo dengan hukuman seumur hidup dalam perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Adapun Putri Candrawathi dituntut delapan tahun penjara. (jpnn/*)