Guru Besar dari Berbagai Perguruan Tinggi Ramai-Ramai Kritik Jokowi, Akademisi USU Bungkam..!
Para guru besar dari berbagai perguruan tinggi nasional, seperti UGM, UI, UII dan ITB beramai-ramai mengkritik sistem demokrasi yang dibangun di masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bahkan para guru besar UGM menegaskan kalau Jokowi telah melakukan tindakan-tindakan menyimpang di tengah proses penyelenggaraan negara Republik Indonesia (RI).
Dalam ‘Petisi Bulaksumur’ yang dibacakan para guru besar UGM, mereka menyatakan telah mencermati dinamika yang terjadi dalam perpolitikan nasional selama beberapa waktu terakhir.
Dengan mengingat dan memperhatikan nilai-nilai Pancasila serta jati diri UGM, mereka menyampaikan keprihatinan mendalam atas tindakan menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial oleh sejumlah penyelenggara negara di berbagai lini dan tingkat.
“Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada,” bunyi Petisi Bulaksumur yang dibacakan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Koentjoro, di Balairung UGM, Sleman, DIY, Rabu (31/1).
Petisi tersebut dibacakan Koentjoro yang didampingi sejumlah guru besar lain di UGM dan juga unsur mahasiswa yang diwakili di antaranya oleh Ketua BEM KM Gielbran M. Noor. Petisi itu dibacakan dalam acara Mimbar Akademik: Menjaga Demokrasi oleh akademisi UGM, Rabu ini.
Adapun beberapa penyimpangan yang disinggung dalam petisi tersebut antara lain soal pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK); keterlibatan aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang bergulir; serta pernyataan kontradiktif Presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan.
Mereka menganggap itu semua sebagai wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi.
“Presiden Joko Widodo sebagai alumni, semestinya berpegang pada jati diri UGM, yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dengan turut memperkuat demokratisasi agar berjalan sesuai standar moral yang tinggi dan dapat mencapai tujuan pembentukan pemerintahan yang sah (legitimate) demi melanjutkan estafet kepemimpinan untuk mewujudkan cita-cita luhur sebagaimana tertuang di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” demikian petikan bunyi petisi tersebut.
Jokowi, lanjutnya, semestinya selalu mengingat janjinya sebagai alumni UGM yang berbunyi: “…Bagi kami almamater kuberjanji setia. Kupenuhi dharma bhakti ‘tuk Ibu Pertiwi. Di dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku. Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara…”.
Jokowi diketahui pula sebagai alumnus UGM, di mana dia merupakan jebolan Fakultas Kehutanan yang lulus pada 1985 silam. Alih-alih mengamalkan dharma bhakti almamaternya dengan menjunjung tinggi Pancasila dan berjuang mewujudkan nilai-nilai di dalamnya, para pencetus petisi itu menilai tindakan Jokowi justru dianggap menunjukkan bentuk-bentuk penyimpangan.
Selang sehar setelah munculnya kritikan dari guru besar UGM, muncul pula kritikan dari par guru besar Universitas Islam Indonesia (UII). Dalam pernyataan sikap yang bertajuk Indonesia Darurat Kenegarawanan, guru besar, dosen, mahasiswa dan alumni UII memulainya dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Himne UII.
“Ada gejala sikap kenegarawanan Presiden Jokowi yang pudar,” kata Rektor UI Profesor Fathul Wahid di halaman Auditorium Kahar Muzakir, Kampus Terpadu UII, Sleman, Yogyakarta, Kamis, 1 Februari 2024.
Adapun gejala yang dimaksud, menurut mereka, terdiri dari empat indikator. Pertama, pencalonan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang didasarkan oleh putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sarat intervensi politik. Kedua, pernyataan ketidaknetralan Jokowi yang membolehkan presiden untuk berpihak dan berkampanye.
Ketiga, distribusi bantuan sosial (bansos) langsung oleh presiden ditengarai kental akan nuansa politik praktis. Keempat, mobilisasi aparatur negara untuk memberikan dukungan terhadap pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tertentu sebagai tindakan melanggar hukum sekaligus melanggar konstitusi.
Berikutnya muncul kritikan dari guru besar Universitas Indonesia yang dipimpin oleh Ketua Dewan Guru Besar UI, Harkristuti Harkrisnowo. Bahkan sebelum menyampaikan petisi mengkritik Jokowi, Harkristuti Harkrisnowo mengaku mendapat intimidasi lewat pesan WhatsApp.
“Kami sudah diintimidasi sebenarnya. Intimidasinya, kami dapat WA dari salah seorang mahasiswa kami, dia kecewa sekali kenapa kok UI ikut-ikutan karena kita seharusnya bisa pergi ke pejabat dan menyampaikan ide-ide,” jelas Harkristuti Harkrisnowo usai deklarasi dilakukan.
Deklarasi bertajuk “Genderang Universitas Indonesia Bertalu Kembali” memuat beberapa poin penting. Seperti, sivitas akademika UI menuntut hak pilih rakyat dalam pemilu dapat dijalankan tanpa intimidasi dan ketakutan, serta berlangsung jujur dan adil.
Selanjutnya, menuntut semua ASN, pejabat pemerintah, TNI, dan Polri dibebaskan dari paksaan untuk memenangkan salah satu paslon. Menyerukan semua perguruan tinggi di seluruh tanah air mengawasi dan mengawal secara ketat pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di wilayah masing-masing.
Akademisi USU tidak berani bersuara
Yang sangat menyedihkan adalah para guru besar USU yang bungkam karena rektornya DR Muryanto Amin dikenal sebagai pengikut setia Presiden Jokowi. Muryanto sangat dekat dengan Menteri sekretaris Negara Pratikno. Berkat kedekatan itupula sehingga Muryanto bisa mulus duduk sebagai rector USU.
Padahal dalam pemilihan di tingkat USU, Muryanto sebenarnya tidak diunggulkan. ia berada pada posisi kedua dari tiga kandidat yang diakukan ke pusat. Namun berkat kedekatannya dengan pemerintahan Jokowi, Muryanto justru terpilih sebagai rektor. Muryanto adalah rektor termuda dalam sejarah USU.
Muryanto juga dikenal sangat dekat dengan menantu Jokowi, yakni walikota Medan Bobby Nasution. Ketika Bobby menang pada Pilkada 2020, Muryanto membawa para guru besar, dekan dan dosen USU untuk ‘sowan’ guna mendekatkan diri kepada Bobby. Anehnya lagi, para dosen USU menurut saja dengan dengan ajakan itu.
Makanya, ketika para guru besar dari berbagai universitas di Indonesia ramai-ramai mengkritik Jokowi, para akademisi USU hanya bisa menonton. Mereka ketakutan bersuara. Kalau saja bersuara kritis, mereka pasti akan ‘dicampakkan’ oleh rektornya ke posisi yang tidak akan nyaman. (*)