Hasil Penggeledahan KPK di Rumah Topan Ginting: Ditemukan Dua Pistol dan Uang Rp2,8 M

Sebarkan:

Rumah mewah Topan Ginting di komplek Royal Sumatera mendapat penjagaan ketat aparat keamanan saat KPK melakukan penggeledahan di dalam
Tuntas sudah aksi penggeledahan yang dilakukan Tim  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di ruangan kantor dan  di dua rumah Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara (Sumut) Topan Obaja Putra Ginting. Penggeledahan di tiga tempat itu memberi hasil mengejutkan, terutama saat penggeledahan dilakukan di perumahan mewah Royal Sumatera, Jalan Jamin Ginting, Kelurahan Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, berlangsung selama 7 jam, Selasa (2/7/2025).

Hasil penggeledahan, tim KPK berhasil mengamankan sejumlah alat bukti, antara lain, uang senilai Rp 2,8 miliar di rumah tersebut.

"Tim melakukan penggeledahan di rumah tersangka TOP. Dalam penggeledahan tersebut tim mengamankan sejumlah uang senilai sekitar Rp 2,8 miliar," kata juru bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (2/7/2025).

Tim KPK juga mengamankan dua pucuk senjata dari kediaman Topan. Senjata yang disita yakni pistol jenis Beretta dan senapan angin.

"Untuk jenisnya yang pertama pistol Beretta dengan amunisi 7 butir dan jenis kedua senapan angin dengan jumlah amunisi air gun pellet sejumlah 2 pak," sebut Budi.

Mengenai asal senjata yang ditemukan di rumah Topan, Budi mengatakan, penyidik akan mendalami hal tersebut. Selain itu, KPK juga akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk mendalami temuan tersebut.

"Tim juga mengamankan dua senjata api yang tentu nanti juga akan dikoordinasikan oleh KPK dengan pihak kepolisian," kata Budi.

Dalam pemberitaan sebelumnya, penggeledahan di rumah Topan Ginting berlangsung selama 7 jam, mulai pukul 9.30 sampai 16.40 WIB. Saat hendak meningggalkan lokasi penggeledahan, tim KPK terlihat membawa tiga koper, dua kardus, dan satu tas tenteng.

Koper itu berwarna biru muda, dongker, dan hitam. Selain itu, ada dua kardus dan satu tas tenteng berwarna biru. Namun, tak ada satu orang pun tim KPK yang memberikan keterangan kepada media.  

Penggeledahan di rumah Topan Ginting ini merupkan lanjutan dari penggeledahan serupa pada Senin (1/7/2025) kemarin.

Sehari sebelumnya, KPK menggeledah kantor Dinas PUPR Sumut dan sebuah rumah di Jl Busi, yang disebut-sebut kantor sementara Topan Ginting. Kasus ini terungkap setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terkait proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut dan Satuan Kerja (Satker) Pembangunan Jalan Nasional (PJN) Wilayah 1 Sumut.  Lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK Cabang Gedung Merah Putih.

Tiga tersangka dari penyelenggara negara adalah Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumut Topan Obaja Putra Ginting, Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut merangkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Rasuli Efendi Siregar, dan PPK Satker PJN Wilayah I Provinsi Sumut Heliyanto.

Tim KPK selama dua hari sejak Selasa dan Rabu menggeledah ruangan kantor dan dua rumah milik Topan Ginting di Medan. Hasilnya cukup mengejutkan
Sedangkan dari pihak swasta merupakan bapak-anak, yakni Direktur Utama PT Dalihan Natolu Group (DNG) Akhirun Efendi Siregar, dan anaknya M Rayhan Dulasmi Piliang yang menjabat sebagai Direktur PT RN.

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, OTT yang dilakukan KPK di Sumut pada Kamis (26/6/2025) malam terkait dugaan suap dan/atau gratifikasi proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut dan Satker PJN Wilayah 1 Sumut.

Kongkalikong proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut dan Satker PJN Wilayah I Sumut mencapai Rp 231,8 miliar. Sedangkan uang pelicin yang disiapkan Akhirun dan Rayhan untuk mendapatkan proyek itu diperkirakan mencapai Rp 46 miliar. Perhitungan itu diperoleh dari perjanjian komitmen fee sebesar 10-20 persen.

“Ada sekitar Rp 46 miliar yang akan digunakan untuk menyuap (tapi belum diberikan),” kata Asep Guntur, Sabtu (28/6/2025).

Asep menjelaskan, ada perjanjian komitmen fee dalam proyek tersebut. Akhirun dan Rayhan yang telah didapuk sebagai pemenang proyek menjanjikan Rp 46 miliar kepada ketiga tersangka. Beruntung, permufakatan jahat itu bisa dicegah KPK melalu OTT.

“Kalau dibiarkan pihak-pihak ini mendapatkan proyek, ini tentu hasil pekerjaan tidak akan maksimal. Karena, sebagian dari uang itu akan digunakan untuk menyuap, memperoleh pekerjaan tersebut,” jelasnya.

Dalam kasus ini, penyidik menyita barang bukti berupa uang senilai Rp 231 juta dari kediaman salah satu tersangka. Uang tersebut diduga sisa dari praktik suap yang telah dilakukan oleh para tersangka.

Terkait dugaan adanya pihak lain yang terlibat dalam kongkalikong proyek ini, Asep menegaskan, penyidik akan mendalami hal tersebut.

Menurut Asep, KPK akan menggunakan metode follow the money dalam kasus ini. Artinya, KPK akan menggandeng PPATK untuk menelusuri pergerakan aliran uang dari para tersangka.

"Kalau nanti ke siapa pun, ke atasannya atau mungkin ke sesama kepala dinas, ke mana pun itu dan kami memang meyakini (pasti ditindak). Kami tadi juga sudah sampaikan bahwa kita bekerja sama dengan PPATK untuk melihat ke mana saja uang itu bergerak," kata Asep.

"Nah, selanjutnya kita tentu akan panggil, akan kita minta keterangan, apa dan bagaimana sehingga uang itu bisa sampai kepada yang bersangkutan. Ditunggu saja ya,” imbuhnya.

Penampakan uang kontan Rp2,8 miliar dan dua pucuk pistol hasil penggeledahan KPK di rumah Topan Ginting
 Kongkalikong Infrastuktur

Asep menjelaskan, kasus kongkalikong proyek jalan ini berawal dari pengaduan masyarakat tentang buruknya infrastruktur di Sumut. Setelah melakukan pendalaman, KPK menemukan fakta adanya penarikan uang sekitar Rp 2 miliar oleh Akhirun dan Rayhan.

Uang tersebut rencananya akan dibagikan ke beberapa pihak, termasuk tiga tersangka yakni Topan, Rasuli, dan Haliyanto, agar Akhirun dan Rayhan memperoleh proyek pembangunan jalan.

Berdasarkan informasi itu, KPK melakukan penelusuran lebih mendalam hingga akhirnya diketahui adanya dua klaster dalam kongkalikong proyek pembangunan jalan di Sumut.

Klaster pertama adalah proyek di Dinas PUPR Sumut, yakni pembangunan Jalan Sipiongot–Batas Labusel senilai Rp 96 miliar dan pembangunan Jalan Hutaimbaru–Sipiongot senilai Rp 61,8 miliar. Sedangkan klaster kedua merupakan proyek di Satker PJN Wilayah I Sumut, yakni preservasi jalan Simpang Kota Pinang–Gunung Tua–Simpang Pal XI tahun 2023 senilai Rp 56,5 miliar, proyek serupa untuk tahun 2024 senilai Rp 17,5 miliar, serta rehabilitasi dan penanganan longsoran di ruas jalan yang sama untuk tahun 2025.

Asep mengungkapkan, kongkalikong proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut mulai terkuak pada 22 April lalu.

Saat itu, Akhirun bersama Topan Ginting dan Rasuli Efendi melakukan survey offroad di daerah Desa Sipiongot. Survey ini untuk meninjau lokasi proyek pembangunan jalan. Pada kesempatan itu, Topan memerintahkan Rasuli untuk menunjuk Akhirun sebagai rekanan.

Proyek yang diberikan adalah pembangunan jalan Sipiongot-Batas Labusel, dan proyek pembangunan jalan Hutaimbaru-Sipiongot. Kedua proyek tersebut sebesar Rp 157,8 miliar.

Beberapa waktu berselang, Akhirun dihubungi oleh Rasuli yang memberitahukan bahwa pada Juni 2025 akan tayang proyek pembangunan jalan Sipiongot-Batas Labusel. Ia pun meminta Akhirun untuk memasukkan penawaran.

Akhirun kemudian memerintahkan stafnya untuk berkoordinasi dengan Rasuli dan staf UPTD guna mengurus proses e-catalog.

"Selanjutnya KIR (Akhirun) bersama-sama RES (Rasuli) dan staf UPTD mengatur proses e-catalog sehingga PT DGN bisa menang proyek pembangunan jalan Sipiongot-Batas Labusel," ujar Asep.

Namun, saat itu cuma satu proyek yang ditayangkan. Sedangkan satu proyek lagi sengaja diberi jeda satu minggu. Hal ini merupakan trik dari para tersangka untuk menutupi "kongkalikong dalam proyek tersebut.

"Proyek lainnya disarankan agar penayangan paketnya diberi jeda seminggu supaya tidak terlalu mencolok," kata Asep.

Untuk memuluskan rencana kongkalikong itu, Akhirun dan Rayhan memberikan uang kepada Rasuli melalui transfer rekening.

"Selain itu diduga terdapat penerimaan lainnya oleh TOP (Topan) dari KIR (Akhirun) dan RAY (Rayhan) melalui perantara," papar Asep.

Dalam kasus ini, Topan Ginting diduga akan menerima uang sebesar Rp 8 miliar dari upayanya menentukan pemenang lelang tersebut.

"Kepala Dinas akan diberikan sekitar 4-5 persen dari nilai proyek. Kalau dikira-kira ya dari Rp 231 (miliar), (Topan dapat) 8 miliar itu. Empat persennya kan sekitar Rp 8 miliaran ya itu," ungkap Asep.

Asep menuturkan uang sekitar Rp 8 miliar itu akan diberikan kepada Topan secara bertahap hingga proyek selesai dikerjakan oleh pihak Akhirun.

"Tapi nanti bertahap, setelah proyeknya selesai, karena pembayarannya pun termin gitu ya, ada termin pembayarannya," beber Asep. Adapun konstruksi perkara terkait proyek pembangunan jalan di Satker PJN Wilayah 1 Sumut, juga tak jauh berbeda.

Heliyanto selaku PPK Satker PJN Wilayah I Sumut melakukan kongkalikong dengan Akhirun dan Rayhan. Dia mengatur proses e-catalog sehingga dua perusahaan milik bapak dan anak itu terpilih sebagai pelaksana pekerjaan.

Asep mengatakan, Heliyanto telah menerima sejumlah uang dari Akhirun dan Rayhan sebesar Rp 120 juta dalam kurun Maret sampai Juni 2025.

"Kegiatan tangkap tangan ini sebagai pintu masuk, dan KPK masih akan terus menelusuri dan mendalami terkait proyek atau pengadaan barang dan jasa lainnya," kata Asep. ***

 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini