Muncul Gerakan Melawan Ephorus HKBP Terkait PT Toba Pulp Lestari, Siapa di Belakangnya?

Sebarkan:

 

Tampak dari ketinggian pabrik PT TPL yang terletak di Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba, Sumatera Utara.
Perdebatan terkait keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Kabupaten Toba terus memanas. Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Victor Tinambunan telah berkali-kali menyerukan agar perusahaan yang memproduksi pulp (bubur kertas) ditutup karena pencemaran lingkungan dan menghadirkan sejumlah konflik dengan Masyarakat local. Bahkan Ephorus telah meminta langsung penutupann itu ke Menteri Kehutanan.

Namun tuntutan itu tidak mudah. Pasalnya kini muncul sejumlah organisasi pekerja yang bersikeras agar perusahaan yang dikendalikan Pinnacle Company Pte. Ltd milik konglomerat Sukanto Tanoto itu tetap beroperasi. Mereka terang-terangan menentang sikap Ephorus HKBP yang dianggap bisa merusak iklim investasi di Sumut.

Pimpinan Serikat Pekerja/Buruh di Sumatera Utara (Sumut) yang melawan sikap Ephorus HKBP itu sebagian besar juga masyarakat batak. Mereka, antara lain pengurus  Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pekerja Nasional (DPD SPN); Anggiat Pasaribu, Kordinator Federasi Hutan Tanaman Industri (Hukatan), Tohonan Tampubolon; Ketua Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Paraduan Pakpahan, dan perwakilan Federasi Serikat Pekerja Pertanian Perkebunan - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPP-SPSI).

Para pengurus serikat buruh itu secara bersama menggelar pertemuan pers pada Selasa (10/6/2025) di Medan untuk menyatakan sikap tidak sejalan dengan Ephorus HKBP. Menurut mereka, tuntutan Ephorus yang meminta PT TPL ditutup terlalu mengada-ngada.

 "Tuntutan itu tidak rasional dikarenakan pekerja atau buruh adalah anggota mayoritas masyarakat setempat dan sebagian anggota Serikat Pekerja Nasional (SPN) PT. Toba Pulp Lestari Kabupaten Toba," sebut Anggiat dari DPD  Serikat Pekerja Nasional Sumut.

Kalau saja penutupan itu dilakukan, menurut Anggiat, bakal terjadi PHK terhadap ribuan pekerja. PHK itu tentu akan sangat mengganggu tatanan ekonomi daerah.

DPD SPN Sumatera Utara memang tidak membantah bahwa keberadaan perusahaan itu telah menghadirkan gangguan terhadap lingkungan dan sejumlah konflik dengan masyarakat sekitar. Namun menurut mereka, tindakan itu semestinya bisa diatasi dengan langkah kompromi.

Hal senada disampaikan Ketua Serikat Burus Seluruh Indonesia (SBSI) 1992, Pahala Napitupulu yang menilai penutupan TPL bukan solusi, tapi akan menghadirkan persoalan baru.

"Bila ada permasalahan, dicari solusi. Bukan perusahaan yang ditutup. Bisa kita bayangkan, karyawan tersebut memiliki anak dan istri bagaimana kelanjutan mata pencaharian mereka. Belum lagi usaha di seputar perusahaan tersebut, perbengkelan, rumah makan dan lainnya. Tentu itu juga akan terpengaruh," kata Pahala.

Oleh karena itu ia menyarankan sebaiknya pihak PT TPL melakukan pertemuan dengan Ephorus HKBP untuk membahas masalah itu untuk mencari Solusi berbagai persoalan yang muncul.

“Sebagai serikat pekerja, sudah pasti kami menolak jika perusahaan itu ditutup. Sudah pasti kami tidak sepakat dengan pernyataan saudara Pdt Victor Tinambunan,” jelas Pahala.

Kontroversi sejak awal

PT Toba Pulp Lestari (TPL) pada dasarnya telah hadir dan beroperasi di Toba sejak  April 1983 berdasarkan akta Notaris Misahardi Wilamarta, SH.  Pada awalnya perusahaan ini dikenal dengan nama PT Inti Indorayon Utama (IIU). Adapun kegiatan usaha komersialnya dimulai pada April 1989, dengan fokus pada industri pulp dan bahan kimia penunjang.

Sekelompok pimpinan serikat buruh yang menentang penutupan PT Toba Pulp Lestari
Pada Juni 1990, perusahaan ini sukses melakukan Penawaran Umum Perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia (saat itu Bursa Efek Surabaya). Indorayon tergolong perusahaan besar karena sebagian produksinya ekspor ke mancanegara. Tingginya kebutuhan bubur kertas dunia membuat perusahaan itu semakin berjaya.

Namun kerusakan lingkungan yang dihadirkan perusahaan itu membuat keberadaannya ditentang para aktivitas lingkungan dan tokoh agama di Kabupaten Toba.  Apalagi kawasan perkebunan yang memproduksi tanaman eucalyptus (bahan utnuk pembuatan bubur keras) sangat luas, mencapai 167.912 hektar. Namun batas lahan itu tidak jelas sehingga kerap memunculkan konflik dengan masyarakat local.

Tidak sedikit warga Toba yang mengaku lahan perkebunan mereka telah dirampok oleh PT Indorayon sehingga konflik antara perusahaan dan warga local terus berkepanjangan. Alhasil, pada 1995 perusahaan itu terpaksa berhenti beroperasi setelah gelombang aksi terus mencuat menentang mereka.

Pada tahun 2000, perusahaan itu kembali mendapat dukungan dari pemerintah untuk beroperasi kembali. Dalam upaya re-branding dan meredakan ketegangan dengan masyarakat lokal, perusahaan itu mengubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL).  Produksi utamanya focus kepada  pulp (bubur kertas) dengan bahan baku dari tumbuhan eucalyptus.

Perusahaan ini juga bergerak dalam produksi dan perdagangan bahan kimia dasar, produk kayu, serta pengembangan konsesi hutan tanaman industri (Hutan Tanaman Industri/HTI).

Meski telah berubah nama, namun konflik dengan masyarakat tak kunjung usai karena keberadaan perusahaan itu tetap dianggap telah mencemarkan lingkungan. Konflik dengan warga lokal terkait lahan kebun juga tidak pernah mereda.

Situasi ini yang membuat HKBP – organisasi agama Kristen Protestan yang merupakan agama mayoritas warga di Toba – akhirnya ikut bersuara. Ephorus atau pimpinan tertinggi HKBP tegas menyatakan agar perusahaan itu ditutup.

Tuntutan itu tidak hanya disampaikan Ephorus kepada Menteri Kehutanan, tapi juga kepada Jenderal (purn) Luhut Binsar Pandjaitan, yang disebut-sebut sosok yang berada di belakang PT TPL.

Karuan, seruan dari Ephorus HKBP ini membuat pemerintah kelabakan. Betapa tidak, melawan pimpinan agama terbesar di Toba tentu bukan hal mudah. Namun menutup PT TPL juga akan menghadirkan konsekuensi sangat buruk bagi iklim investasi. Apalagi dipastikan bakal terjadinya PHK besar-besaran terhadap ribuan pekerja.

Oleh karena itu gerakan untuk menentang seruan Ephorus  HKBP mulai dikembangkan. Tidak jelas apakah semua ini rekayasa penguasa, yang pasti kini sudah muncul gerakan yang meminta  agar PT TPL jangan sampai ditutup. Salah satunya melalui organisasi buruh.

Dengan kondisi ini, bisa dipastikan kalau konflik di seputar PT TPL akan terus berkepanjangan. Pasalnya, pemerintah tetap akan berupaya melindungi perusahaan itu demi yang namanya investasi. Apalagi PT TPL tergolong perusahaan kelas dunia.  Sementara Ephortus HKBP dan pengikutnya tetaop menolak keberadaan perusahaan itu.

Entah sampai kapan konflik ini akan terus terjadi. Makanya jangan heran kalau aksi demo menolak dan mendukung PT TPL tidak akan pernah berhenti. Hari ini muncul demo menolak, besok akan datang aksi yang mendukung. Begitulah terus…***

 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini