-->

Bobby Perintahkan Putar Lagu Indonesia Raya Pada Jam Kerja Pukul 10, Sekedar Pengalihan Isu?

Sebarkan:

Gubernur Bobby Nasution memimpin upacara
Ada-ada saja ulah gubernur Sumut Bobby Nasution. Dengan alasan untuk memperkuat nasionalisme para pekerja di daerah ini, ia mengeluarkan himbauan yang meminta instansi pemerintah dan swasta memperdengarkan Lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ dan membacakan Teks ‘Pancasila’ setiap hari kerja pukul 10.00 WIB melalui pengeras suara.

Himbauan ini tentu saja menuai sorotan, apalagi  muncul di tengah tajamnya pandangan  publik atas kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi Pemprov Sumut.

Himbauan itu tertuang di dalam surat edaran Nomor 200.1.2.2/5677/2025 pada 30 Juni 2025, atau  dua hari setelah KPK menetapkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Sumut, Topan Obaja Putra Ginting (TOP), sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi.

Semua orang tahu, Topan adalah pejabat muda yang sangat dekat dengan Bobby Nasution. Ia ditangkap dalam operasi tangkap tangan KPK pada Kamis (26/6/2025) dan langsung ditahan dengan status tersangka dua hari kemudian.

Penangkapan ini menjadi pukulan bagi citra pemerintahan daerah Sumut, terlebih karena Topan baru dilantik pada Februari lalu.

Bentuk Pengalihan Isu

Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas), Sutrisno Pangaribuan, menilai imbauan menyanyikan lagu kebangsaan secara rutin tersebut sebagai bentuk pengalihan isu dari persoalan utama, yakni badai korupsi yang mengguncang Pemprov Sumut.

"Surat edaran ini tidak lahir dari semangat kebangsaan, melainkan muncul sebagai reaksi atas guncangan politik dan hukum akibat OTT KPK terhadap pejabat utama di lingkungan Gubernur," kata Sutrisno dalam pernyataan tertulis yang diterima Kajianberita.com, Minggu (20/7/2025).

Menurut Sutrisno, upaya membangun nasionalisme tidak cukup hanya dengan simbolisme seperti memperdengarkan lagu kebangsaan, apalagi jika dilakukan secara seragam dan terpusat.

"Rasa cinta tanah air seharusnya diwujudkan melalui praktik pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, bukan hanya lewat seremoni di kantor-kantor," ujarnya.

Sutrisno Pangaribuan
Payung Hukum Lemah

Imbauan ini merujuk pada Pasal 59 Ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Namun, ketentuan tersebut bersifat fakultatif atau tidak wajib. Dalam aturan itu disebutkan bahwa lagu kebangsaan dapat diperdengarkan sebagai bentuk ekspresi rasa kebangsaan, bukan kewajiban yang mengikat.

Sebaliknya, penggunaan lagu kebangsaan secara wajib hanya berlaku dalam tujuh situasi sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Ayat (1), seperti dalam upacara kenegaraan, penyambutan presiden, atau acara resmi pemerintahan.

"Tidak ada kewajiban hukum bagi instansi untuk mengikuti surat edaran tersebut. Imbauan itu bukan regulasi, apalagi perintah," kata Sutrisno.

Sutrisno juga menyoroti bahwa korupsi tetap marak meski lagu kebangsaan telah lama menjadi bagian dari upacara dan kegiatan resmi kenegaraan. Hal ini menunjukkan bahwa nasionalisme tidak cukup dibangun lewat ritual, melainkan melalui penegakan hukum dan integritas kepemimpinan.

Ia menyebut, pejabat negara yang selama ini berdiri memimpin upacara, menyanyikan lagu kebangsaan, dan membaca Teks Pancasila justru tidak sedikit yang tersandung korupsi.

"Yang dibutuhkan Sumut saat ini bukan surat edaran nasionalistik, tetapi keberanian untuk membersihkan pemerintahan dari praktik KKN dan penyalahgunaan kekuasaan," ujarnya.

Sutrisno menyarankan agar upaya membangkitkan kesadaran berbangsa diarahkan pada penegakan hukum yang adil, pemilu yang bersih, serta rekrutmen pejabat yang bebas dari transaksi politik.

"Jangan-jangan para pejabat justru lebih butuh mendengarkan lagu-lagu seperti Tobat Maksiat atau Bongkar, agar takut berbuat curang," pungkasnya.

 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini