Ada banyak mimikri yang meledek Gibran. Mimikri di media sosial adalah peta terbesar masyarakat Indonesia berpikir, bereaksi, dan mengritik para pemimpin. Mimikri juga merepresentasikan pertempuran berbagai aspek berbangsa yang tak bisa diabaikan begitu saja. Bahkan, jika tidak dicermati, bisa menjadi pemicu polarisasi yang menghambat kerja bangsa ini.
Dalam sejarah, banyak tokoh politik dunia yang memutuskan mundur ketika mereka menghadapi pro-kontra atas kepemimpinannya. Dasar pengunduran diri itu macam-macam, tapi biasanya karena alasan moral atau nilai-nilai keutamaan diri sebagai manusia dan tokoh publik.
Dengan begitu, pengunduran diri adalah sebuah jalan kehormatan. Dengan kata lain, bagi politikus yang memiliki nilai keutamaan, kepentingan dan jalan politik tak mengubah standar nilainya. Jika kekuasaan tak lagi alat untuk mewujudkan visi dalam menjaga daya hidup bangsa, mereka meninggalkannya agar daya hidup itu tak terguncang ketika ia ada di dalamnya.
Sekiranya Gibran mengundurkan diri, sesungguhnya ia tengah menempuh jalan terhormat. Ia masih muda sehingga jalan politiknya masih terbuka lebar. Ia ada kemungkinan bisa meraih popularitas politik yang tinggi jika mundur sekarang. Dalam politik, pengunduran diri dari jabatan publik atau kekuasaan bukan sebuah kekalahan, melainkan kalkulasi untuk mendapat manfaat lebih besar di masa depan.
Gibran bisa belajar dari pengunduran diri para tokoh politik. Sebut saja pengunduran diri Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher pada 22 November 1990. Meski menjadi perdana menteri terlama dan memperoleh capaian politik luar biasa, perseteruan Thatcher dengan Partai Buruh dan golongan kiri yang begitu tajam dan memecah belah membuat ia mengundurkan diri. Thatcher pun dikenang sebagai negarawan: politikus yang mengutamakan kepentingan Inggris ketimbang kekuasaannya belaka.
Pengunduran diri sebagai laku politik terhormat bisa dibaca pada Presiden Habibie, yang lebih mementingkan integrasi dan masa depan bangsa daripada kekuasaan. Meski hanya setahun menjabat, Habibie mampu melakukan pencapaian luar biasa dengan menumbuhkan kepercayaan ekonomi, memberi ruang kebebasan pers, serta melahirkan undang-undang antimonopoli dan otonomi.
Pro-kontra soal kebijakan memberi jajak pendapat di Timor Timur yang membuat provinsi termuda itu terlepas dari Indonesia membuat Habibie mengundurkan diri. Ia menerima keputusan Dewan Perwakilan Rakyat yang menolak pertanggungjawabannya.
Mohammad Hatta juga mengundurkan diri sebagai wakil presiden ketika berselisih paham dengan Presiden Sukarno. Pengunduran diri berbasis nilai keutamaan bangsa ini semata-mata karena memberi ruang roda pemerintahan berjalan dan masyarakat tidak terpecah. Tak ada politikus yang ngotot mempertahankan kekuasaannya hanya karena gengsi atau kepentingan diri sendiri.
Dalam hal Gibran, ayahnya masih terlihat cawe-cawe dalam pemerintahan Prabowo. Prabowo juga mengakomodasinya dengan acap memuji-muji kebijakan Jokowi sewaktu menjabat presiden. Mungkin Prabowo sedang melakukan rekonsilisasi dengan Jokowi agar tak timbul kegaduhan. Namun kita melihatnya jadi matahari kembar yang memberi sinyal buruk akan kepemimpinan Prabowo.
Kalaupun tidak mengundurkan diri, bahkan bersandar pada pelindungan politik Jokowi beserta sekutu dan ahli-ahli di sekelilingnya, Gibran kehilangan kesempatan memanfaatkannya demi faedah politik. Gibran akan terus dikecam sebagai pemimpin yang kosong, tak memiliki visi, dan menjadi boneka ayahnya. Pro-kontra akan terus terjadi, yang membuat energi bangsa ini habis untuk pertengkaran yang tidak perlu.
Lebih celaka lagi jika Gibran dan sekutunya menganggap mimikri hanyalah hiburan media sosial. Akibatnya, ia tak peduli, bahkan melawannya dengan menganggap mimikri itu dibuat karena kebencian yang tak obyektif. Ia tak menangkap kemarahan publik dalam mimikri yang bernada olok-olok itu.
Sekali lagi, anjuran ini datang dari pikiran yang normal, ketika para politikus masih memegang nilai-nilai moral dan etika. Tentu menjadi sulit kita bicara hal normal kepada perekayasa hukum dan menganggap etika sekadar pajangan serta gimik membohongi publik.***
Garin Nugroho
Sutradara, board Maarif Institut, pengajar program S2 dan S3 beberapa perguruan tinggi