Meski sudah tidak lagi menjabat presiden, namun kepemimpinan Joko Widodo selama 2014-2024 masih meninggalkan kegundahan bagi masyarakat. Hal ini lantaran banyaknya kebohongan yang ia wariskan kepada bangsa. Oligarkhi yang dibangunnya masih tetap berkuasa sehingga anak dan menantunya bisa berjaya di pemerintahan.
Masalah oligarkhi yang dibangun Jokowi ini termasuk salah satu yang dibahas dalam symposium membedah 8 tuntutan Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang berlangsung di Ballroom, Hotel Madina, minggu lalu.
Marsekal (Purn) Hanafi Asnan (mantan Kepala Staf TNI-AU periode Juli 1998 - April 2002); Mayjen TNI (purn) Soenarko (mantan Danjen Kopassus (September 2007- Juli 2008); Brigjen TNI (Purn) Hidayat Purnomo, Ketua Gerakan Bela Nega, berharap Presiden Prabowo seharusnya bisa memutus mata rantai oligarkhi itu agar kebusukan Jokowi tidak berlanjut.
“Terlalu banyak kebohongan yang dilakukannya untuk bangsa ini. Harusnya jaringan kekuasaan yang dibangun Jokowi bisa dibasmi oleh presiden Prabowo,” kata Hanafi Asnan.
Sebagai seorang sepuh TNI, Hanafi sangat prihatin kalau masyarakat Indonesia hanya diam menyikapi hal itu. Oleh karena itu para purnawirawan TNI itu sengaja menyelenggarakan berbagai pertemuan di kota-kota besar untuk menyadarkan masyarakat akan kebusukan keluarga Jokowi.
Akademisi Fakultas Hukum USU, Chairul Munadi mengaku sangat setuju dengan langkah purnawirawan TNI itu. Ia juga menilai usulan untuk pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan sebagai wakil presiden sudah sangat tepat dan memiliki landasan hukum yang kuat.
“Secara hukum itu biasa dilakukan. Kita sudah melakukan kajian hukum soal kemungkinan bisanya seorang wakil presiden dimakzulkan meski saat pencalonan yang lalu ia satu paket dengan presiden,” kata Chairul Munadi.
Malah Chairul Munadi berpendapat bahwa Sumatera Utara harusnya bisa menjadi motor untuk menghancurkan oligarkhi keluarga Jokowi. Langkah itu bisa dilakukan dengan terus mendesak agar KPK mengusut tuntas kasus korupsi yang terjadi di Pemprovsu sehingga nantinya bisa membongkar keterlibatan gubernur Bobby Nasution, menantu Jokowi.
“Oligarkhi Jokowi itu sangat terasa di Sumut. Dimulai dari Pilkada Kota Medan 2020 hingga Pilgubsu 2024, semua itu sarat dengan kecurangan. Rakyat Sumut jangan melupakan hal itu. Bila perlu Sumut bergerak lebih dulu untuk menghancurkan oligarkhi tersebut.
Sebagaimana diketahui, Gubernur Bobby Nasution belakangan ini menjadi sorotan setelah pejabat yang sangat disayanginya, Topan Ginting terjerat dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK dalam kasus korupsi proyek jalan di Tapanuli bagian Selatan.
Nilai proyek jalan itu mencapai 231,6 miliar, Rencananya 20 persen dari nilai proyek itu akan dikembalikan sebagai uang pelicin bagi pejabat terkait. Dengan demikian bakal ada Rp46 miliar uang suap bagi pejabat di Sumut untuk proyek itu.
Topan sudah menerima Rp2 miliar. Rencananya sebagai kepala Dinas PUPR Sumut, ia mendapat total Rp8 miliar. Jadi Rp 40 miliar lagi ke mana?
Di sinilah informasi terputus. KPK tak mau bersuara. Hanya saja KPK mengakui bahwa Topan tidak sendirian melakukan aksi korupsi itu. Ia mendapat perintah dari atasannya.
Sejauh ini, atasan Topan hanya satu, yaitu Bobby Nasution. Dari logika ini bisa dipahami bahwa uang suap terbanyak akan diterima Bobby Nasution.
Namun KPK belum mau terbuka membongkar semua ini. Malah mereka terkesan takut memeriksa Bobby karena melihat jaringan kekuasaan Jokowi masih sangat kuat di pemerintahan Prabowo.
Apalagi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih menjabat. Kapolri ini terkenal sangat dekat dengan Jokowi karena karirnya meningkat berkat dukungan ‘Raja Jawa’ itu.
Di sisi lain, KPK masih tunduk dengan Kapolri sehingga mau tidak mau Lembaga itu harus berpikir dua kali untuk memeriksa Bobby.
Dalam posisi seperti ini, menurut Munadi, rakyat bisa bertindak dengan terus menerus mendesak KPK agar mau menegakkan hukum secara tegas, jangan pilih kasih. Jika itu bisa dilakukan, ia yakin oligarkhi kelarga Jokowi bisa dihancurkan dari Sumut. ***