-->

Bobby Berhalusinasi Bisa Tekan Inflasi dengan Impor Cabai, Awas Pembohongan Informasi!

Sebarkan:
Gubernur Bobby Nasution meninjau pasar untuk pencitraan demi kosmetika informasi. Masyarakat diminta cerdas menilai fakta lapangan soal inflasi. Jangan terpengaruh publikasi bayaran untuk pencitraan yang tidak sesuai fakta

Pemerintah Sumatera Utara, melalui usaha milik daerah, sudah mendatangkan 50 ton cabai merah dari Jawa Timur secara bertahap dengan harapan bisa meredam inflasi akibat komoditas ini. Pembelian ini dilakukan, antara lain oleh Aneka Industri dan Jasa (AIJ), PT Dhirga Surya atas instruksi  Gubernur Bobby Nasution.

" Tujuan mendatangkan cabai itu adalah agar harga cabai di Sumut stabil. Sebab harga cabai pada pekan pertama Oktober 2025 menyentuh Rp 100 ribu per kilogram di berbagai pasar tradisional di Medan," kata Swangro Lumbanbatu, Ahad, 26 Oktober 2025.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS),  September 2025, inflasi Sumut year-on-year (y-on-y) tercatat sebesar 5,32 persen; dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 111,11. 

Inflasi y-on-y tertinggi terjadi di Kabupaten Deli Serdang sebesar 6,81 persen; dengan IHK sebesar 111,99; dan terendah terjadi di Kota Medan sebesar 4,44 persen dengan IHK sebesar 109,97. Angka inflasi Sumut tertinggi di Indonesia.

Tekanan inflasi di Sumut terutama berasal dari komoditas pangan yang bergejolak, seperti cabai merah, bawang merah, beras, dan daging ayam ras. 

Untuk menekan gejolak harga, Pemprov Sumut bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah atau TPID telah menyiapkan berbagai aksi jangka pendek. Salah satunya memerintahkan BUMD membeli cabai merah dari Jawa Timur.

Sebelumnya Gubernur Bobby Nasution sempat mengklaim bahwa tingginya inflasi itu, salah satunya karena harga emas yang melonjak. Entah dari mana dasarnya ia mengatakan hal ini, sebab  selama ini BPS selalu menilai inflasi dari harga kebutuhan bahan makanan.

Belakangan Bobby mulai sadar akan kebodohannya itu sehingga ia memutuskan untuk mendatangkan cabai dari daerah lain guna menekan harga cabai di Sumut. Kalau emas yang membuat inflasi tinggi di Sumut, semestinya Bobby lebih baik mengimpor emas saja.

Tapi akhirnya ia sadar bahwa emas bukan menjadi penyebab inflasi itu, tapi bahan makanan. Salah satunya cabai merah yang harganya melambung. Maka ia pun mendatangkan cabai dari Jawa Timur.

Masalahnya, benarkah mendatangkan cabai bisa menekan inflasi di daerah ini?  

Kebijakan Bobby ini yang menjadi perdebatan sebab para ahli dan pengamat pasar sangat meragukan langkah tersebut. Kalaupun harga cabai bisa ditekan lebih murah, itu sifatnya hanya sementara. Tidak berkelanjutan.

Lagi pula, selama ini Sumut dikenal sebagai daerah penghasil cabai. Entah mengapa, Bobby  begitu cepat mengambil kesimpulan bahwa penyebab inflasi itu karena Sumut kekurangan cabai. Langkah Bobby ini yang mendapat kritikan tajam dari pengamat ekonomi.

Founder Ethics of Care, Farid Wajdi menilai, narasi penurunan harga cabai yang disampaikan oleh pihak BUMD justru menyesatkan logika publik. Menurunkan inflasi dengan mendatangkan cabai dari luar hanyalah halusinasi Bobby.

Farid menyebut, inti persoalan terletak pada skala intervensi. Distribusi 500 kilogram cabai merah di satu pasar besar, katanya, nyaris tak berarti bila dibanding kebutuhan harian yang mencapai beberapa ton.

"Dampak mendatangkan cabai itu  hanya sesaat. Penyebaran cabai itu hanya menurunkan harga lokal dalam waktu singkat tanpa pengaruh nyata terhadap stabilitas harga di pasar lain," tegas mantan Anggota Komisi Yudisial RI itu.

Menurutnya, kebijakan seperti ini hanya "kosmetika ekonomi": memoles tampilan agar terlihat stabil, tanpa menyentuh akar masalah seperti rantai pasok yang panjang, biaya logistik tinggi, dan lemahnya tata niaga pangan di Sumatera Utara.

"Publik juga berhak mengkritisi pola komunikasi yang tampak lebih sibuk membangun citra ketimbang membenahi sistem. Narasi harga turun tanpa data komprehensif hanya melahirkan apa yang disebut para ekonom sebagai inflasi naratif — stabilitas semu yang dibangun lewat wacana, bukan realitas," sindir Farid.

Ia menambahkan, bila hanya satu-dua pasar yang dijadikan contoh keberhasilan, lalu dipublikasikan secara besar-besaran, maka publik sedang disuguhi manipulasi persepsi, bukan penyelesaian masalah ekonomi.

"Kondisi ini menegaskan pentingnya audit dan verifikasi independen terhadap setiap laporan harga dan kebijakan pangan," ujarnya.

Farid pun mendesak agar Badan Pusat Statistik (BPS) dan Ombudsman Daerah dilibatkan dalam mengaudit data harga cabai dan distribusi pangan. Menurutnya, BPS memiliki otoritas ilmiah dalam memverifikasi tren harga, sementara Ombudsman wajib memastikan akuntabilitas informasi publik agar tidak menyesatkan masyarakat.

"Tanpa verifikasi semacam itu, laporan yang beredar mudah berubah menjadi propaganda, bukan refleksi kebenaran," pungkasnya.

Pernyataan Farid ini benar-benar sesuai fakta. Pihak Pemerintah Provinsi Sumut baru-baru ini sudah mengklaim bahwa inflasi di daerah ini mulai terkendali. Salah satunya yang disampaikan  Direktur Utama PT Dhirga Surya, Ari Wibowo, yang sebelumnya menyebut harga cabai sudah turun ke Rp35 ribu per kg.

Masalahnya, dari mana kewenangan PT Dhirga Surya – salah satu BUMD  milik Pemprovsu – mengklaim bisa menentukan stabilitas inflasi? Sejauh ini hanya BPS yang punya hak untuk memberikan penilaian terhadap inflasi, bukan BUMN apalagi Pemerintah daerah.

Di sinilah kebusukan Pemerintahan Bobby semakin kentara. Mereka mencoba memanipulasi informasi agar rakyat percaya bahwa inflasi di daerah ini sudah bisa dikendalikan. Apa mungkin hanya dengan mendatangkan cabai, lantas inflasi bisa diatasi? Benar-benar cara pandang manusia dungu!

Faktanya di tingkat pasar, harga cabai masih tetap tinggi. Informasi yang disampaikan BUMD Sumut bahwa harga cabai di daerah ini sudah berkisar Rp35 ribu per kg,  jelas sekali kabar bohong. Rata-rata di pasar wilayah  Medan, harga cabai masih berkisar Rp 80 ribu hingga Rp85 ribu per kg.

Sementara di tapanuli Tengah, daerah yang   selama ini dikenal sebagai penghasil cabai, harga di sana berkisar Rp70 ribu per kg pada pekan terakhir Oktober 2025 ini.

“Sepertinya pejabat di Sumut sengaja dilatih untuk berbohong soal harga cabai ini. Mereka memanfaatkan media bayaran untuk mempublikasikan kebohongannya,” ujar Rizal Syahputra, pengamat sosial di Sumut. Semua itu diyakini Rizal merupakan komando dari Bobby Nasution  agar kebobrokannya tidak terungkap ke permukaan.

pada kesempatan berbeda, Farid Wajdi menegaskan, publik sebenarnya tidak menuntut harga cabai selalu murah, melainkan menuntut kejujuran dalam informasi dan tanggung jawab dalam kebijakan.

"Yang dibutuhkan sekarang bukan operasi pasar yang sporadis, tapi reformasi tata niaga pangan yang berkeadilan, transparan, dan berpihak kepada masyarakat," ujarnya. 

Ia mengingatkan, tanpa sistem pemantauan harga berbasis data terbuka, kebijakan pangan akan terus berada di ruang gelap yang rawan dimanipulasi. 

Maka itu, Farid menilai,  klaim 'harga turun' tanpa bukti kuat hanyalah fatamorgana birokrasi — terlihat menenangkan, tapi rapuh saat disentuh kenyataan di pasar. Impian Bobby menurunkan inflasi dengan mendatangkan cabai dari daerah lain, hanyalah ilusi dan halusinasi.

Begitulah jika pemimpin tidak terlatih dari bawah, tapi didatangkan dari atas. Bobby adalah pemimpin titipan dari atas yang dipaksanakan agar dipilih oleh arus bawah. Jadi jangan berharap banyak dari racikan tangan orang seperti ini untuk memperbaiki Sumut. ***

 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini