![]() |
| Luhut Binsar Pandjaitan dan Jokowi, dua otak di balik proyek kereta cepat yang merugikan negara. |
"Saat ini sudah pada tahap penyelidikan," kata Asep saat dikonfirmasi wartawan, Senin (27/10/2025).
Asep enggan menjelaskan hasil proses penyelidikan sejauh ini, termasuk apakah ada indikasi markup dalam proyek tersebut sebagaimana disampaikan oleh mantan Menko Polhukam Mahfud MD, serta sejak kapan perkara ini naik ke tahap penyelidikan.
"Nanti lebih rinci nya dengan Mas Jubir ya," ucap Asep.
Sebelumnya, KPK menegaskan masih menunggu kedatangan Mahfud MD ke Gedung Merah Putih KPK tanpa harus melalui pemanggilan resmi. Hal ini merespons pernyataan Mahfud yang meminta KPK memanggil dirinya sekaligus menyerahkan data dugaan korupsi berupa markup anggaran proyek Whoosh.
"Sebagaimana kami sampaikan tadi bahwa jika Prof Mahfud memiliki data dan informasi itu silakan bisa disampaikan ke KPK," kata Jubir KPK, Budi Prasetyo melalui keterangannya kepada wartawan, Selasa (21/10/2025).
Menurut Budi, data tersebut akan digunakan KPK sebagai bahan awal mengusut dugaan markup anggaran proyek kereta cepat Whoosh.
"Kami sangat terbuka, nanti kami akan pelajari, kami akan analisis dari informasi dan data awal yang nantinya jika kemudian disampaikan ke KPK," ujarnya.
Budi menegaskan, sambil menunggu laporan Mahfud, KPK tetap proaktif mengusut perkara tanpa harus menunggu laporan masyarakat.
Ia menjelaskan, pengusutan perkara dapat dimulai dari case building atau pengembangan suatu perkara, maupun melalui informasi dari lembaga negara lainnya seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melalui laporan audit, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Artinya KPK dalam penanganan suatu perkara punya kanal-kanal sumber informasi, yang itu nanti tentu akan saling lengkapi dan memberikan pengayaan dalam setiap proses penanganan perkara di KPK," pungkas Budi.
Sebelumnya, melalui kanal YouTube Mahfud MD Official pada 14 Oktober 2025, Mahfud mengungkap adanya dugaan penggelembungan anggaran dalam proyek kereta cepat Whoosh. Ia menyebut terdapat selisih besar antara perhitungan biaya pembangunan versi Indonesia dan versi China. Perhitungan Indonesia mencapai sekitar US$52 juta per kilometer, sedangkan versi China sebesar US$17–18 juta per kilometer. Dengan demikian, menurut Mahfud, terjadi kenaikan hingga tiga kali lipat.
Menanggapi hal itu, KPK melalui Budi meminta Mahfud melaporkan kasus tersebut secara resmi ke KPK. Namun Mahfud mempertanyakan sikap KPK yang terkesan menunggu laporan darinya. Ia menilai KPK seharusnya bertindak proaktif.
"Dalam kaitan dengan permintaan agar saya membuat laporan, ini kekeliruan yang kedua dari KPK. Yg berbicara soal kemelut Whoosh itu sumber awalnya bukan saya," tulis Mahfud melalui akun resmi X atau Twitter @mohmahfudmd.
Mahfud menjelaskan bahwa isu tersebut pertama kali ia dengar dari perbincangan Analis Senior Kebijakan Publik Agus Pambagio dan Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan di salah satu stasiun televisi swasta, Nusantara TV. Ia mengaku hanya mengulas isu itu dalam sebuah podcast.
Jika KPK benar-benar berniat menyelidiki kasus Whoosh, Mahfud meminta lembaga tersebut segera memanggil dirinya beserta Agus, Anthony, dan pihak Nusantara TV.
"Panggil saja saya dan saya akan tunjukkan siaran dari Nusantara TV tsb. Setelah itu panggil NusantaraTV, Antoni Budiawan dan Agus Pambagyo untuk menjelaskan. Bukan diperiksa loh, tapi dimintai keterangan," ucap Mahfud.
Langkah KPK yang meningkatkan penyelidikan terhadap dugaan korupsi kereta cepat ini pasti akan mengarah ke dua nama yang merupakan pihak yang memaksakan proyek ini. Keduanya adalah Luhut Binsar Pandjaitan dan Joko Widodo. Dua sosok inilah Bintang utama proyek kereta cepat.
Masalahnya, apakah KPK berani memeriksa dan menjadikan kedua sosok itu sebagai tersangka. Sebab faktanya kedua tokoh itu telah merugikan negara ratusan triliunan rupiah dalam beban utang yang luar biasa besarnya. Keberanian KPK ini yang sangat diragukan.
Pasalnya, jangankan memeriksa Jokowi dan Luhut, memeriksa menantu Jokowi, Bobby Nasution saja, KPK tidak berani. Bahkan KPK dengan lantang menolak menghadirkan Bobby Nasution di pengadilan kasus korupsi proyek jalan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Medan. Padahal majelis hakim sudah memberi perintah. Dalam proses sidang, seharusnya perintah hakim wajib dipenuhi. Tapi demi melindungi menantu Jokowi, KPK menolak.
Maka dari itu, jangan bermimpi kalau KPK akan berani memeriksa Jokowi dalam kasus kereta cepat ini. Mereka hanya berani mengucapkan secara teori. Faktanya, semua pimpinan KPK adalah anak buah Jokowi, sebab Jokowi yang memilih dan melantik mereka.
Lagi pula, para petinggi KPK adalah anggota Polri aktif dan pensiunan. Mereka sudah pasti akan tunduk kepada perintah Kapolri. Dan semjua orang tahu bagaimana hubungan antara Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan Jokowi.
Luhut Pandjaitan apalagi. Tak akan berani KPK menyentuh sosok yang satu ini. Lembaga ini hanya berani menyentuh orang yang tidak berhubungan dengan Jokowi maupun dengan Luhut. KPK tetap saja harus tebang pilih dalam menjerat pelaku korupsi. !
