-->

Misi Sosial Overlanding di Lubuk Siduk: Sebulan Pascabencana, Kondisi Masih Serba Darurat

Sebarkan:

Misi sosial Overlanding Indonesia untuk bencana di Aceh
Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan aktif mewadahi sejumlah lembaga non pemerintah untuk bergerak aktif membantu korban bencana di Sumatera. Belum lama ini Kemenko Infra mengirim sejumlah bantuan untuk korban bencana di Aceh Tamiang di mana Overlanding Indonesia terlibat berperan dalam pendistribusian.

Overlanding Indonesia merupakan komunitas penggemar jelajah nusantara yang dihuni para pegiat sosial, penggemar touring, fotografer, penulis, dan pecinta alam. 

Komunitas ini lahir dari gagasan pendirinya, Agus Harimurti Yudhyono pada tahun 2000 sebagai bentuk ketertarikan pada kawasan pedalaman dan tempat-tempat wisata Indonesia.

Selain terlibat mempromosikan tempat-tempat wisata nusantara, Overlanding Indonesia juga bergerak dalam bidang sosial membantu korban bencana.

Dalam penanganan bencana Sumatera, Overlanding bergabung bersama Eiger (perusahaan produsen alat-alat oudoor), CMNP (perusahaan milik pengusaha Yusuf Hamka), Vertical Rescue Indonesia (komunitas para ahli perancang jembatan gantung), dan Alumni AKABRI 2000 yang kesemuanya bergerak di bawah komando Kemenko Infra, untuk bersama terjun ke Desa Lubuk Siduk, Kecamatan Sekerak, Aceh Tamiang pada Jum'at 26 Desember 2025.

Lubuk Siduk merupakan desa pedalaman Aceh Tamiang yang mengalami kerusakan sangat parah  akibat terjangan banjir lumpur akhir November lalu. Nyaris tak ada satupun rumah warga yang masih utuh akibat sapuan air yang membawa reruntuhan kayu dan batu itu. Sebagian besar  malah sudah rata dengan tanah.

Kalaupun masih ada bagian bangunan yang berdiri, lumpur tebal sudah pasti menggenanginya. Tak layak lagi untuk ditempati. Kalaupun harus dibersihkan atau diperbaiki, butuh waktu lama untuk menanganinya.

Begitu dahsyatnya arus banjir itu, sampai-sampai jembatan beton yang menghubungkan Desa Lubuk Siduk dan Desa Babo yang ada di seberangnya, patah dua. Baja besi jembatan itu terlempar hampir 100 meter dari posisi awalnya. Yang tersisa hanya tiang pondasi bagian tengah yang miring kekiri akibat terdorong arus banjir yang sangat kuat.  

Bisa dibayangkan, kalau jebatan baja saja patah dua, apalagi rumah penduduk yang terbuat dari beton dan kayu. Tak heran jika  bencana itu memaksa sekitar 200 keluarga di sana terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.  

Potret kehancuran di Desa Lubuk Siduk, Aceh Tamiang

Mereka harus hidup di tenda-tenda darurat sampai waktu yang tidak jelas. Hingga saat ini hidup para korban masih sangat bergantung kepada bantuan dari para dermawan dan pemerintah.

Tim Kemenko Infra mengemban misi  membangun kembali jembatan patah yang menghubungkan Desa Lubuk Siduk dengan Desa Babo. Tentunya bukan jembatan beton seperti sediakala, tapi jembatan perintis bersifat sementara. Orang-orang menyebutnya jembatan gantung.

Dibutuhkan waktu sekitar tiga  minggu waktu menyelesakan tugas itu. Pekerja utamanya adalah Tim Vertical Rescue Indonesia, sebuah komunitas panjat tebing dari Bandung yang sudah berpengalaman membangun jembatan darurat di lokasi bencana.

Selain membawa material pembuatan jembatan, tim overlanding juga turut membagikan sejumlah bantuan pangan lainnya. Tidak banyak, tapi setidaknya bisa berbagi dengan para korban.

Pemilihan Desa Lubuk Siduk sebagai sasaran penyebaran bantuan sangatlah tepat mengingat kehancuran yang terjadi di desa itu sangat parah. Sejumlah relawan bekerja di wilayah itu, tapi semua itu tentu tidak bisa mengubah desa kembali seperti sedia kala.

Besar kemungkinan desa itu tidak lagi layak sebagai tempat permukiman karena hampir semua area telah tenggelam dalam lautan lumpur. Kalaupun harus dihuni kembali, butuh waktu tahunan untuk mengoreknya sampai membuat suasana desa kembali normal.

Jembatan Baja Desa Lubuk Siduk yang patah diterjang banjir
Desa Lubuk Siduk berada persis di bibir Sungai Tamiang, sungai yang memisahkan kabupaten itu dengan wilayah Aceh Timur.  Saat bencana datang  menumpahkan amarahnya, air sungai meluap hingga menyapu semua rumah yang ada di pinggirnya. Arusnya sangat deras sehingga merusak semua yang disentuhnya. Ketinggian air mencapai 10 meter sehingga menutupi atap rumah penduduk di desa itu.

Pada 2006, desa itu sudah pernah dilanda banjir yang sama, tapi tidak separah yang sekarang. Banjir kala itu hanya sebatas genangan air yang menggenangi rumah. Suasana bisa pulih tiga hari kemudian. Namun yan terjadi  sekarang ini,  banjir yang datang mengandung lumpur, bebatuan dan gelondongan kayu yang terbawa hanyut dari hutan di bagian hulu.

Diperburuk dengan arus air yang deras, sehingga lumpur, batu dan gelondongan kayu itu menghancurkan apa saja yang mereka sentuh.

Kayu-kayu itu menumpuk di semua lokasi sehingga membuat wajah desa semakin buruk rupa.  Ada satu warga desa yang meninggal karena tidak sempat  melarikan diri. Sementara warga lain bisa selamat karena cepat bergerak meninggalkan rumah saat banjir mulai naik setinggi pinggang.

“Tak ada barang yang sempat kami selamatkan, selain pakaian yang melekat di badan,” kata Syamsudin, 68 tahun, warga desa itu.  

Gelondongan kayu, lumpur dan bebatuan masih menggenangi Desa Lubuk Siduk sebelum setelah bencana 
 

Akses yang Sulit

Lokasi Desa Lubuk Siduk yang berada di pinggiran kabupaten membuat akses menuju wilayah itu tidak mudah. Apalagi desa-desa lain di sepanjang jalan menuju desa itu juga terkena dampak yang tidak kalah parahnya.

Akibatnya, bantuan kemanusiaan yang datang cenderung akan singgah di desa yang pertama ditemui. Sementara Desa Lubuk Siduk kurang tersentuh. Warga di desa itu baru mendapat bantuan dua hari setelah kejadian.

Sejak itulah para korban mulai mendapat tenda, bantuan makanan dan lainnya. Mereka kemudian mendirikan tenda-tenda darurat itu di tempat-tempat yang lebih tinggi. Ada pula yang memilih mendirikan tenda di bekas puing rumahnya setelah air mulai surut.

Jangan cerita soal kebersihan, jangan bahas soal kesehatan lingkungan. Semuanya serba darurat. Bisa istirahat saja, bagi para korban, sudah sudah lumayan. Di tenda-tenda darurat itu para korban harus menjalani hidup sehari-hari. Menyedihkan sekali, sebab tidak sedikit keluarga itu yang punya bayi dan anak-anak kecil.

Saat tim Overlanding menjalankan misi kemanusiaan di desa itu, wajah desa belum berubah sama sekali. Kalaupun ada yang  berubah, air sudah surut. Itu saja.

Sedangkan suasana desa tetap masih dipenuhi lumpur. Rumah-rumah penduduk yang tersisa hanyalah puing yang berserakan. Bahkan ada yang tinggal lantai semata.

Kalaupun masih lengkap dengan fisiknya, posisi bangunan sudah bergeser dari tempatnya semula. Ada pula rumah yang posisinya sudah miring hingga 45 derajat. 

Sulit dipercaya kalau rumah-rumah itu masih  bisa diperbaiki. Semuanya harus dibangun ulang jika ingin menempati lokasi itu lagi.

Inilah rupa Desa Lubuk Siduk yang berada persis di pinggiran Sungai Aceh Tamiang. Kini hanya menyisakan satu masjid yang masih bisa dimanfaatkan warga. Sedangkan yang lain habis disapu banjir.
Sampai sebulan setelah bencana berlalu, kehancuran desa masih terlihat nyata. Para korban juga masih bertahan di tenda-tenda pengungsian. Mereka makan ala kadarnya. Tidur pun harus beralaskan tikar atau plastik. Beruntung, pada  25 Desember lalu penerangan listrik mulai pulih, tapi itupun seadanya.

Ada beberapa keluarga yang mendapat bantuan kasus dari para donator, tapi bantuan itu belum merata. Para pengungsi masih membutuhkan banyak perhatian lagi, terutama soal antisipasi ancaman penyakit yang setiap saat mengintai mereka.

Pada siang hari, sebagian dari keluarga itu kembali ke desa mereka untuk melihat puing-puing rumah yang masih tersisa.  Mereka berupaya mengais-ngais tanah, mencari sesuatu yang bisa dimanfaatkan.

Ada pula yang berupaya mengumpulkan kayu-kayu bekas dinding, kosen, atau material bangunan lain seperti seng atau  daun pintu, yang mungkin masih bisa digunakan.

“Ya, apa yang masih bisa kita gunakan, itulah yang kita kumpulkan,” ujar Imanuddin, 44, salah seorang korban yang rumahnya tidak jauh dari jembatan yang patah.

Sama seperti korban lainnya, Imanuddin tidak tahu bagaimana keluar dari penderitaan itu. Rumah tidak ada, persediaan pakaian tidak memadai, sedangkan anak-anak masih kecil dan harus bersekolah mulai 4 Januari mendatang. 

Ironisnya, kebun tempatnya mencari nafkah tidak bisa lagi dikerjakan karena sudah tertutup lumpur. Tanaman sayur yang seharusnya sudah dipanen, kini lenyap disapu bebatuan dan kayu.

Warga korban bencana Desa Lubuk Siduk tinggal seadanya di tenda-tenda darurat
Satu-satunya harapan Imanuddin adalah bantuan dari donator dan pemerintah. Bantuan yang paling mereka butuhkan saat ini adalah tempat tinggal sederhana yang lebih sehat, makanan sehari-hari, peralatan keluarga dan persediaan air bersih.

Imanuddin mengaku hanya bisa pasrah dengan situasi yang terjadi. Namun yang ia sangat sedihkan adalah  ketika tak kuasa melarang dua anaknya bersama anak-anak pengungsi lain harus menengadahkan tangan di pinggir jalan, persis di depan tenda mereka, demi meminta bantuan dari mobil-mobil warga yang melintas.

Tatkala ada donator yang memberi bantuan, anak-anak itu langsung berkerumun berharap mendapatkan jatah yang sama. Miris melihat pemandangan itu. Tapi begitulah pahitnya situasi di lokasi bencana Aceh Tamiang.

Tak pernah dibayangkan Imanuddin kalau anak-anaknya akan seperti itu. Situasi begitu memaksa. Terkadang kalau tidak seperti itu, perhatian dari donator tidak akan didapat.

Bencana ini tidak hanya membuat Imanuddin dan korban lainnya menderita, tapi juga memaksa mereka harus siap mengubur rasa malu. Ya, kondisi memaksa mereka harus memelas meminta bantuan di tepi-tepi jalan dari mobil yang melintas.***

 

 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini