Selayaknya seorang gubernur, Bobby Nasution semestinya punya visi yang jelas untuk mengatasi penderitaan masyarakat korban bencana. Sebagai pemimpin, ada tiga hal yang harus cepat ditanganinya, yakni meringankan penderitaan korban, mengatasi infrastruktur yang rusak agar distribusi bantuan berjalan lancar, dan melakukan antisipasi agar kejadian serupa tidak terjadi lagi.
Namun tiga hal ini nyaris tidak terlihat pada diri Bobby Nasution. Ia malah terkesan bingung menghadapi situasi yang kacau balau saat beberapa wilayah di Sumatera Utara dilanda bencana banjir dan tanah longsor 27 November lalu. Ia tidak tahu harus melakukan apa untuk mengatasi masalah itu.
Bahkan Bobby baru mengunjungi lokasi bencana empat hari setelah kejadian. Sementara Tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang datang dari Jakarta sudah membangun pos di Tarutung, Tapanuli Utara pada hari ketiga.
Begitupun, kehadiran Bobby di lokasi bencana Tapanuli Tengah baru dilakukan setelah ia mendapat banyak kritikan bertubi-tubi karena dianggap lambat bertindak.
Bisa dipahami mengapa Bobby kalabakan menghadapi situasi itu. Selama hidupnya, ia sama sekali tidak pernah merasakan bencana separah itu. Apalagi dalam posisi sekarang di mana ia harus tampil di depan memimpin langkah penanganan lapangan. Pikirannya pasti berkecamuk karena tak tahu harus melakukan apa.
Setiap gerak pasti butuh anggaran. Ironisnya, anggaran penanganan bencana Sumatera Utara sangat tidak memadai karena Bobby menganggap langkah penanggulangan bencana bukanlah progam penting di daerah ini.
Ia menilai program pembangunan jalan lebih prioritas dibanding antisipasi bencana. Tak heran jika Bobby diam-diam menggeser dana penanganan bencana 2025, dari semula Rp 841,3 miliar turun menjadi Rp98,3 miliar. Sementara untuk anggaran proyek kontruksi yang semula dicanangkan sebesar Rp 662 miliar ia dongkrak menjadi Rp1,2 triliun.
Dengan latar belakang dirinya yang kurang dekat dengan arus bawah, tak heran jika Bobby bingung menghadapi kekisruhan yang terjadi pascabencana.
Bisa dipahami, sebab Bobby adalah pemimpin yang dipaksakan oleh elit demi kepentingan dinasti politik Jokowi. Bukan pemimpin yang berasal dari rakyat. Karena itu wajar kalau ia sama sekali sekali tidak terlatih menghadapi tekanan alam yang biasa dihadapi masyarakat.
Sejak kecil Bobby hidup di dalam sangkar emas. Ayahnya seorang pejabat tinggi di BUMN yang pergaulannya lebih banyak di tataran elit. Bobby sejatinya seorang pemuda yang aktif bergerak di bidang entrepreneur, bukan di bidang sosial. Ia hanya memanfaatkan pernikahan untuk bisa duduk sebagai kepala pemerintahan. Di sinilah cerdiknya anak muda ini. Potong kompas untuk bisa berkuasa.
Makanya, saat menjabat sebagai walikota dan gubernur, orientasinya lebih banyak ke program konstruksi karena di situlah uang sangat dibutuhkan untuk berbicara. Lagi pula ada fee sebagai financial return yang bisa didapatkan dari proyek itu. Jangan dibantah...!
Ya, begitulah ciri seorang pengusaha. Jadi jangan terlalu berharap Bobby bisa menangani isu-isu sosial di masyarakat, termasuk penanganan bencana. Mimpi itu..!
Satu-satunya yang terpikir di dalam benak Bobby adalah bagaimana ia tampil di depan saat memberi bantuan kepada korban. Ia membagi-bagikan beras dan sembako, mengunjungi kamp-kamp pengungsian dan meminta korban tabah menghadapi tekanan. Semua itu tentu dilakukan di bawah sorotan kamera agar muncul kesan bahwa ia peduli dengan penderitan korban.
Bobby pun sangat aktif menayangkan kerja-kerja sosialnya melalui akun instagram @bobbynst.
Banyak yang heran melihat aksi Bobby ini karena tindakan seperti itu tidak ubahnya aksi seorang relawan. Aksi Bobby itu semakin mencolok karena ia menempatkan diri seakan sebagai relawan elit. Lihat saja bagaimana ia selalu mendapat pengawalan selama berada di lokasi pengungsian.
Ia membagi-bagikan makanan dengan cara melemparnya dari helicopter, jelas itu sangat aneh. Ia juga membagikan makanan kepada anak-anak di kamp pengungsian dengan sorotan kamera yang tiada henti.
Lain lagi ketika mengunjungi korban bencana di Langkat, Bobby melemparkan makanan dari atas perahu tanpa turun menyapa korban. Ya, Bobby lebih cocok disebut relawan elit.
Hanya upaya seperti itu yang bisa dilakukannya. Yang lain, tidak bisa. Bobby sama sekali tidak punya gagasan untuk mengerahkan alat-alat berat yang siap bekerja untuk menembus jalan-jalan yang tertimbun akibat bencana longsor. Bobby juga tidak punya ide untuk membangun pemukiman baru bagi para korban.
Langkah-langkah seperti itu sepenuhnya ditangani oleh Pemerintah pusat. Bobby hanya terima bersih.
Padahal bencana yang melanda Sumatera Utara masih kategori bencana daerah, bukan bencana nasional. Sebagai bencana daerah, seharusnya gubernur yang tampil di depan memimpin penanganan di lapangan.
Yang terjadi, justru jajaran pemerintah pusat yang harus bekerja keras menangani kerusakan yang terjadi di sana-sini. Bahkan tugas untuk mengerahkan alat berat ke lapangan juga harus ditangani seorang menteri. Kok bisa seorang gubernur tidak paham mengenai hal ini?
Lihat saja misalnya bagaimana Menteri Koordinator Infrastuktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yodhoyono, Menteri Pekerjaaan Umum Dody Hanggodo, dan Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman harus menginap selama beberapa hari di Sumut untuk memastikan alat berat bisa dikirim ke lokasi longsor secepat mungkin.
Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto juga harus berjibaku memimpin operasi pencarian korban dan kerja alat-alat berat di titik-titik krusial.
Sementara di Jakarta, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman harus memutar otak menyiapkan lokasi baru sebagai tempat pemukiman bagi para korban. Pemukiman baru harus dibangun karena rumah mereka tidak lagi pantas untuk ditempati. Pemerintah harus memutar otak mencari anggaran karena dana yang dibutuhkan tidak sedikit.
Lantas di mana kerja Bobby? Ya, hanya sebagai relawan.
Visi Bobby untuk menyelesaikan masalah tidak jelas. Ia hanya menonton ketika pemerintah pusat menyiapkan langkah cepat untuk penanganan kondisi lapangan. Ada kalanya ia melaporkan kondisi yang sepertinya kurang ia pahami. Ini jelas tugas formalitas.
Soal kondisi lapangan, tentu saja BNPB lebih menguasai masalah sebab mereka punya tim yang bekerja di berbagai bidang. BNPB juga punya data real time tentang data korban yang terus diperbaharui dari waktu ke waktu.
Tampak jelas kalau Pemerintah pusat terus berupaya melakukan langkah terbaik untuk penanganan bencana itu. Sementara suara Pemerintah Provinsi Sumut nyaris tenggelam. Bahkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terkesan tidak berbuat apa-apa. Semuanya dibawah kendali tim nasional.
Termasuk ide-ide untuk pembangunan rumah bagi para korban, gagasannya lebih banyak ditangani pusat.
Lucunya, gagasan dari pusat ini kemudian disampaikan Bobby kepada awak media dan para korban, sehingga muncul kesan kalau ia terlibat dalam melahirkan gagasan itu.
Beberapa waktu lalu misalnya, Bobby menggelar press conference di Kantor Gubernur untuk mengabarkan tentang rencana pembangunan rumah bagi korban bencana di lokasi yang baru. Ia juga menyampaikan tentang adanya peran NGO dalam membantu korban, dan lainnya.
Apa yang disampaikan Bobby itu semuanya merupakan rancangan Pemerintah pusat. Bobby sama sekali tidak terlibat apapun di situ. Ia hanya sebatas menyampaikan ulang gagasan itu sehingga terkesan ia punya jalan keluar untuk mengatasi penderitaan korban bencana. Ini kaset usang yang diputar kembali..!
Bandingkan dengan langkah Gubernur Aceh Muzakir Manaf yang terus berjuang melobi berbagai pihak untuk memberi perhatian maksimal bagi korban bencana di daerahnya. Muzakir alias Mualim tidak perlu turun membagi-bagikan sembako karena ada ribuan relawan yang bisa melakukan tugas itu.
Ia juga tidak pernah terlibat melempar bantuan kepada para korban. Tapi ia bermain di tingkat elit melobi para pihak untuk berbuat lebih baik dalam penanganan bencana.
Ia juga memastikan alat berat bekerja optimal di titik-titik tertentu agar distribusi bantuan berjalan lancar.
Mualim aktif melobi lembaga-lembaga non-government untuk sigap membantu Aceh. Ia sampai mengunjungi kantor Yayasan Budha Tzu Chi di Jakarta agar berkenan membangun rumah baru sebagai relokasi bagi para korban.
Mualem berhasil melobi DPR RI agar lebih peka terhadap kondisi Aceh. Sampai-sampai ia bisa mengundang pimpinan DPR RI untuk menggelar rapat khusus di Aceh guna mempercepat penanganan korban.
Langkah seperti ini memang merupakan tugas yang pantas dilakukan seorang gubernur. Tidak berpura-pura tampil bak orang berjiwa sosial yang melempar-lempar bantuan dari udara. Kerjaan seperti ini cukuplah dilakukan relawan muda yang banyak datang dari daerah lain.
Gubernur itu harus punya visi jangka panjang, bukan misi pencitraan. Gubernur harus punya langkah antisipasi yang jelas, bukan bekerja untuk publikasi media social. Gubernur harus kerja nyata, bukan sebatas kata-kata.
Rakyat Sumut harusnya belajar dari kenyataan ini bahwa pemimpin yang merakyat bukanlah titipan dari atas, tapi yang berjuang dari bawah. Pemimpin yang berasal dari rakyat akan tahu bagaimana sebenarnya mengatasi masalah rakyat karena ia memahami apa yang terjadi di arus bawah. Kepemimpinan bukan hanya tentang mengarahkan, tetapi juga tentang mengatasi tantangan dan memastikan kemajuan.
Pada 2029 mendatang, saatnya rakyat Sumut berpikir tegas untuk menjauhkan pemimpin yang mengandalkan pencitraan. Rakyat butuh pembangunan nyata, buka janji-janji tanpa realita. Pilihkan pemimpin yang terlatih, bukan pemimpin yang dititipkan oleh oligarkhi. ***

