Anggota Komisi XIII DPR Mafirion mendukung penuh langkah
pemerintah menghentikan sementara seluruh proses produksi, pemanenan HTI, dan
pengangkutan kayu PT Toba Pulp Lestari Tbk (PT TPL/INRU). Menurutnya,
penghentian ini bisa menjadi pintu masuk
untuk melakukan audit menyeluruh terhadap aktivitas PT TPL, terutama terkait
dugaan eksploitasi hutan berlebihan yang memberi dampak terhadap kerusakan
lingkungan.
Anggota Komisi XIII DPR RI, Mafirion
“Saya mendukung langkah penghentian sementara. Namun pemerintah wajib melakukan audit menyeluruh terhadap PT TPL. Bencana banjir dan longsor yang terjadi di banyak daerah adalah konsekuensi dari eksploitasi hutan yang berlebihan. Alam kehilangan keseimbangan ekosistemnya,” ujar Mafirion kepada wartawan, Jumat, 12 Desember.
Mafirion mengatakan, penghentian ini sejalan dengan langkah DPR yang tengah memproses pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) oleh Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM oleh PT TPL terhadap Masyarakat Adat Tano Batak.
Mafirion mengungkapkan, perwakilan Masyarakat Adat Tano Batak beserta sejumlah organisasi masyarakat sipil telah melakukan audiensi dengan Komisi XIII DPR pada Selasa, 9 September lalu.
Dalam pertemuan tersebut, kata dia, masyarakat adat menyampaikan berbagai laporan terkait perampasan tanah adat, intimidasi, hingga konflik yang berulang selama bertahun-tahun.
“Persoalan TPL bukan hanya soal lingkungan. Ada aspek sosial dan kemanusiaan yang harus dituntaskan. Negara tidak boleh membiarkan masyarakat adat terus menjadi korban,” ungkapnya.
Mafirion menegaskan, pemerintah tidak boleh berhenti pada evaluasi TPL saja. Namun menurutnya, izin perkebunan sawit, pertambangan, serta proyek-proyek lain yang berpotensi merusak kawasan hutan dan daerah aliran sungai juga harus ditinjau ulang.
“Evaluasi tidak bisa hanya pada TPL. Semua izin yang berkaitan dengan hutan dan sungai harus ditelaah ulang. Kita harus memastikan pengelolaan sumber daya alam tidak mengorbankan keselamatan masyarakat,” tegasnya.
Mafirion juga menilai konsep Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diberlakukan TPL selama ini perlu dikoreksi. Menurutnya, HTI tidak boleh lagi dilakukan dengan menebang hutan alam untuk kemudian ditanami satu jenis tanaman, seperti eucalyptus, yang memperparah deforestasi.
“Pertama, pemberian konsesi HTI harus dievaluasi total. Kawasan yang masih menjadi sengketa dengan masyarakat, baik tanah adat maupun tanah perorangan, harus diselesaikan agar tidak menimbulkan konflik berkepanjangan,” katanya.
Ia juga menegaskan perlunya perlindungan kawasan resapan air, daerah aliran sungai, dan area sensitif di seluruh wilayah HTI, khususnya di kawasan Danau Toba yang memiliki fungsi ekologis penting. Ia menekankan, isu lingkungan harus menjadi prioritas.
Mafirion menyebut rentetan bencana banjir dan longsor yang terjadi di berbagai kabupaten di tiga provinsi tersebut tidak bisa dilepaskan dari rusaknya tutupan hutan.
"Ke depan, HTI tidak boleh lagi menebang hutan alam. Fokusnya harus pada penanaman kembali di lahan gundul, termasuk eks-HPH (Hak Pengusahaan Hutan), eks-pertambangan, maupun bekas penebangan liar. Kita punya lahan kritis yang sangat luas untuk direstorasi,” pungkas Mafirion. (voi)