Namun temuan Kejaksaan Agung menegaskan bahwa peredaran Pertamax oplosan adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan.
Pertamax oplosan itu adalah hasil olahan bahan bakar minyak (BBM) dengan RON 90 ( sejenis pertalite) menjadi Pertamax dengan RON 92. Dengan kata lain, Pertamax yang dijual selama ini kualitasnya tidak sesuai harapan.
“Kami bekerja berdasarkan alat bukti. Pelaku pengoplosan itu adalah pihak terkait di Pertamina. Kasus pengoplosan itu yang membuat negara rugi hingga Rp 193,7 triliun,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar.
Akibat praktik pengoplosan tersebut, para pelaku mendapat keuntungan yang berlimpah. Bayangkan saja, mereka bisa menjual ratusan jutaan liter pertalite dengan harga pertamax. Makanya, keuntungan pejabat Pertamina itu begitu luar biasa.
Kejaksaan Agung telah mengungkap lokasi pengoplosan pertamax ini. Pengoplosan itu dilakukan dengan mencampur minyak yang kualitasnya lebih rendah dengan kualitas RON 90.
Aktivitas itu dilakukan di terminal dan perusahaan milik tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR), putra dari "Raja Minyak" M Riza Chalid, yang rumah dan kantornya sempat digeledah oleh Kejagung.Lokasi pengoplosan itu berada di terminal PT Orbit Terminal Merak yang dimiliki bersama-sama oleh Kerry dan tersangka Gading Ramadhan Joedo.
Semua fakta itu terungkap saat Kejagung menjelaskan peran dua tersangka baru, yaitu Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
Maya Kusmaya memerintahkan dan/atau memberikan persetujuan kepada Edward Corne untuk melakukan blending (pencampuran) produk kilang pada jenis RON 88 dengan RON 90. Tujuanya, untuk menghasilkan RON 92 (Pertamax) palsu yang kemudian dijual dengan harga RON 92.
Selain itu, Kerry Ardianto disebutkan juga menerima keuntungan setelah Maya dan Edward menyetujui mark up atau penggelembungan harga kontrak pengiriman yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping.
Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dengan penegasan kejaksaan Agung itu, terungkap jelas kalau Pertamina dan Bahlil sudah menyebarkan kebohongan. Yang paling dirugikan adalah para konsumen di seluruh Indonesia, sebab minyak pertamax oplosan itu beredar di seluruh Nusantara. Pertamina telah mempermainkan rakyat selama ini.
Sebelumnya, PT Pertamina Patra Niaga berusaha membela diri dengan mengeklaim tidak ada praktik pengoplosan Pertamax dengan Pertalite dalam proses pengadaan dan distribusi bahan bakar minyak (BBM).
Di hadapan Komisi XII DPR RI, Pelaksana Tugas Harian Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, memastikan bahwa produk BBM yang dijual di SPBU sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan untuk masing-masing produk.
"Dengan tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan, izin kami memberikan penjelasan terkait isu yang berkembang di masyarakat, khususnya soal kualitas BBM RON 90 dan RON 92," kata Ega dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI di Gedung DPR RI, Rabu (26/2/2025).
“Kami berkomitmen dan kami berusaha memastikan bahwa yang dijual di SPBU untuk RON 92 adalah sesuai dengan RON 92, yang RON 90 sesuai dengan RON 90,” ujar dia.
Ega juga menjelaskan bahwa Pertamina Patra Niaga memperoleh pasokan bensin dari dua sumber, yakni kilang dalam negeri dan pengadaan dari luar negeri. Menurut dia, baik Pertalite (RON 90) maupun Pertamax (RON 92) sudah diterima dalam bentuk akhir sesuai dengan standar masing-masing.
Namun dengan adanya penegasan dari pihak Kejaksaan Agung, terungkap jelas bahwa Pertamina dan Kementerian ESDM telajh berbohong. Inilah gambaran para pejabat yang menguasai negeri.
Sudah 9 Tersangka
Sampai saat ini sudah Sembilan orang tersangka dari pejabat Pertamina yang diseret terlibat dalam pengoplosan itu. Tujuh merupakan tersangka yang ditangkap diawal, sedangkan dua tersangka baru ditetapkan oleh Kejaksaan Agung pada Rabu 26 Februari 2025.
Dua tersangka baru yang ditetapkan Kejagung, yakni Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operations.
Maya dan Edward terbukti melakukan tindak pidana bersama-sama dengan tujuh tersangka yang sebelumnya sudah lebih dulu ditetapkan.
Dalam kasus ini, para tersangka melakukan pengoplosan minyak mentah RON 92 alias Pertamax dengan minyak yang kualitasnya lebih rendah.
Kasus tersebut terjadi di lingkup PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada 2018-2023 lalu. Akibatnya, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp193,7 triliun.
Berikut daftar lengkap 9 tersangka:
- Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
- Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku Direktur Feedstock And Product Optimization PT Pertamina International
- Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
- Agus Purwono (AP) selaku Vice President (VP) Feedstock Management PT Kilang Pertamina International
- Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) selaku Beneficial Owner PT Navigator Katulistiwa
- Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Katulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim
- Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak
- Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga
- Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga
Sebelumnya, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar menjelaskan bahwa RS bersama SDS dan AP memenangkan DMUT/broker minyak mentah dan produk kilang yang diduga dilakukan secara melawan hukum.
Sementara itu, tersangka DW dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor produk kilang.
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, RS kemudian melakukan pembelian untuk produk Pertamax (Ron 92).
Namun, sebenarnya, hanya membeli Pertalite (Ron 90) atau lebih rendah. Kemudian, Pertalite tersebut di-blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92. Padahal, hal tersebut tidak diperbolehkan.
Selanjutnya, pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping yang dilakukan Yoki Firnandi selaku Dirut PT Pertamina International Shipping.
Dalam hal ini, negara mengeluarkan fee sebesar 13 hingga 15 persen secara melawan hukum, sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Indeks Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi. Sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN."
Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, yang bersumber dari berbagai komponen," demikian keterangan Qohar, dilansir Kejagung.go.id, Senin (24/2/2025).
Sementara itu, peran dua tersangka baru yakni Maya dan Edward, dijelaskan oleh Qohar, mereka melakukan pembelian bahan bakar minyak (BBM) RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah dengan harga RON 92 dengan persetujuan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan.
“Kemudian tersangka Maya Kusmaya memerintahkan dan/atau memberikan persetujuan kepada Edward Corne untuk melakukan blending (mencampur) produk kilang pada jenis RON 88 (Premium) dengan RON 92 agar dapat menghasilkan RON 92,” jelas Qohar, Rabu (26/2/2025).
Pembelian tersebut menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi dan tidak sesuai dengan kualitas barang.
“Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core bisnis PT Pertamina Patra Niaga,” jelasnya.
Selain itu, Maya dan Edward melakukan pembayaran impor produk kilang dengan menggunakan metode spot atau penunjukan langsung berdasarkan harga saat itu.
Perbuatan tersebut membuat PT Pertamina Patra Niaga membayar impor kilang dengan harga yang tinggi ke mitra usaha. Padahal, pembayaran seharusnya dilakukan dengan metode term atau pemilihan langsung dengan waktu berjangka supaya diperoleh harga yang wajar.
Tak hanya itu saja, Qohar juga menjelaskan bahwa Maya dan Edward mengetahui dan memberikan persetujuan terhadap mark up dalam kontrak shipping yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Keterlibatan Maya dan Edward dalam mark up itu menyebabkan PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee 13–15 persen secara melawan hukum.
“Fee tersebut diberikan kepada tersangka Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa. Dan tersangka Dimas Werhaspati (DW/tersangka) selaku komisaris PT Navigator Khatulistiwa,” jelas Qohar.
Perungkapnya semua rangkaian pengoplosan Pertamax ini bermula dari hasil penyelidikan tim ahli bahwa Pertamax yang beredar di pasaran ternyata tidak sesua standar. Hal ini yang mendorong kejaksaan Agung melakukan investigasi cukup lama untuk membongkar skandal ini.
Besar kemungkinan bukan hanya Sembilan orang ini saja yang nmenjadi tersangka. Ada peluang sejumlah pejabat terkenal lainnya juga terlibat, termasuk di jajaran Kementerian dan pejabat tinggi negara.
Tidak tertutup kemungkinan hasil korupsi yang begitu besar itu digunakan sebagai modal untuk kampanye presiden. Makanya Kejagung berhati-hati untuk membongkar kasus ini. Ironisnya, rakyat Indonesia yang kali ini menjadi korban langsung karena telah membeli Pertamax tidak sesuai standar. ***