Kasus korupsi yang melibatkan Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan
Obaja Putra Ginting alias Topan Ginting, 42 tahun, sebenarnya tidak terlalu
besar. KPK menemukan fakta, sudah Rp 2 miliar uang gratifikasi yang diserahkan
pihak kontraktor kepada jajaran pejabat di Pemprovsu untuk mendapatkan proyek jalan
senilai Rp231,8 miliar yang akan dikerjakan tahun ini. Namun jumlah itu baru
permulaan. Nantinya uang suap itu akan mencapai Rp41 miliar lebih. Topan Ginting berseragam oranye sebagai simbol tahanan KPK. Jika KPK tidak melakukan penangkapan, Topan akan menerima Rp8 miliar sebagai fee dari proyek jalan yang akan dikerjakan.
“Ya, memang dari hasil pemeriksaan kita, baru Rp2 miliar yang diserahkan pihak kontraktor sebagai imbalan agar mereka memenangkan tender untuk proyek itu. Dari jumlah itu, sekitar Rp231 juta dalam bentuk uang tunai yang sudah kita sita,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu kepada wartawan di Jakarta, Minggu (29/6/2025).
Adapun kontaktor yang melakukan suap itu adalah PT Dalihan Natolu Grup dan PT Roma Na Mora. Keduanya milik keluarga penguasaha kaya di Tapanuli Selatan, yakni Akhirun Efendi Piliang, Sekretaris Golkar Tapanuli Selatan.
Hanya saja Akhirun lebih banyak mengurus PT Dalihan Natolu, sedangkan untuk PT Roma Na Mora ditangani anaknya Raihan Dalusmi Piliang.
Kedua anak dan bapak itu sama-sama ditangkap KPK bersama dengan Topan Ginting dan dua tersangka lainnya, yakni Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Provinsi Sumut Rasuli Efendi Siregar dan Koordinator pada Satuan kerja Penyelenggara Jalan Nasional (PJN) Wilayah I Provinsi Sumut, yakni Heliyanto.
“Kelimanya sudah dinyatakan tersangka dan kita tahan di ruang tahanan KPK hingga 20 hari ke depan,” tambah Asep Guntur Rahayu.
Dari segi jumlah, diakui Asep, bahwa korupsi yang melibatkan para tersangka hanya berkaitan dengan uang Rp 2 miliar. Dari jumlah itu, sebanyak Rp 231 juta yang berhasil disita saat operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (27/6/2025) lalu di Tapanuli Selatan.
Namun, tambah Asep, kalau saja penggerebekan tidak dilakukan, maka kerugian negara akan lebih besar lagi. Pasalnya, dari Rp231,8 miliar total nilai proyek jalan yang ditangani PT Dalihan Natolu dan PT Roma Na Mora, sekitar 20 persen akan dikembalikan kepada pejabat negara yang membantu mereka.
Nilai 20 persen itu diperkirakan mencapai lebih dari Rp 41 miliar. Tentu saja nilai ini tidak sedikit.
“Jadi bisa dibayangkan, kalau saja Rp41 miliar akan dikembalikan ke pejabat terkait sebagai gratifikasi, berarti kualitas proyek pasti akan dikerjakan asal-asalan. Tidak mungkin kontraktor mau rugi. Akibatnya jalan yang dibangun nantinya tidak akan berkualitas. Yang rugi adalah rakyat. Makanya, jangan lihat nilai uang yang disita KPK, tapi lihatlah bagaimana kita menyelamatkan proyek negara dari rencana pengerjaan yang asal-asalan,” kata Asep.
Rencananya proyek Pembangunan jalan di Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) itu akan dimulai dua bulan mendatang dan selesai akhir tahun sesuai APBD Provinsi Sumut 2025.
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan KPK terhadap pihak kontraktor, dari Rp41 miliar uang yang akan digunakan sebagai gratifikasi, sebanyak Rp8 miliar akan masuk ke kantong Topan Ginting. Selebihnya, dibagi kepada pejabat terkait lainnya.
![]() |
Gubernur Bobby Nasution bersama pejabat kesayangannya, Topan Ginting |
“Semua data ini masih kita telurusi. Tapi yang pasti aliran uang Rp2 miliar yang sudah dibagikan itu yang menjadi perhatian kita saat ini. KPK akan bekerjasama dengan PPATK untuk mengusut aliran uang itu,” kata Asep.
Sementara Bobby Nasution masih terus bungkam terkait penangkapan Topan Ginting yang merupakan pejabat kesayangannya. Bobby tidak mau ditemui untuk ditanya masalah ini. Seorang ajudannya mengatakan kalau Bobby sedang tidak di Medan.
Bobby baru menjabat sebagai Gubernur Sumut sejak Februari 2025 setelah ia memenangkan Pilkada pada 2024. Perjalanan Bobby untuk bisa menang pada Pilkada itu tidaklah mudah. Ia disebut—sebut mengeluarkan anggaran yang sangat besar. Bahkan ada yang menyebutkan kalau biaya kampanye Bobby bersama pasangannya Surya lebih dari Rp500 miliar. Sedangkan yang dilaporkan ke KPU hanya Rp38.3 miliar.
Terkait perbedaan laporan biaya kampanye yang disampaikan kandidat ke KPU dengan fakta yang habis di lapangan, memang sudah lazim berbeda. Hal ini terjadi karena biasanya kandidat akan selalu menutupi dana kampanyenya agar tidak dicurigai asal usul dana tersebut. ***
Dengan dana kampanye yang sangat besar itu, wajar saja jika kandidat itu akan berupaya mencari jalan untuk mengembalikannya. Sudah pasti proyek akan menjadi sasaran permainan. Semua kepala daerah pasti sudah maklum hal ini. Jangan bohong..!***