![]() |
Samsul Tarigan, Ketua Grib Jaya Sumut ((berbaju hitan kedua dari kiri) saat dieksekusi Kejaksaan setelah putusan kasasi dari Mahkamah Agung |
Samsul yang selama ini bebas, akhirnya pada Selasa (12/8/2025) dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Binjai. Ia dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 A Medan guna menjalani hukuman sesuai putusan tersebut.
Yang satunya lagi adalah Silfester Matutina, Ketua Solidaritas Merah Putih yang dikenal sebagai pendukung utama Jokowi. Lebih mengejutkan lagi, vonis dari MA untuk Silfester telah diputuskan pada 2019 dengan masa hukuman penjara 1 tahun enam bulan.
Kasusnya cukup memalukan, melakukan fitnah terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Semestinya Silferster sudah dijebloskan ke penjara, tapi Kejaksaan tidak mau melakukan hal itu karena lembaga itu seakan mendapat larangan untuk menangkap Silferster. Pasalnya, Silferster adalah penjilat Jokowi sehingga Kejaksaan merasa takut untuk menyentuhnya.
Bukan rahasia lagi, Jaksa Agung yang berkuasa saat ini, BurhST anuddin adalah orang binaan Jokowi. Tak heran jika ia sangat aktif melindungi siapapun yang selama ini berjasa untuk membantu Jokowi.
Meski lembaga Kejaksanaan akhirnya dihujat di sana sini karena penegakan hukum yang buruk, tapi Jaksa Agung tidak mau peduli. Bagi mereka, ‘menjilat pantat’ Jokowi lebih penting ketimbang menegakkan hukum yang adil kepada para pendukung mantan presiden itu.
Dari kasus yang terjadi pada Samsul Taringan dan Silfester ini, jelas sekali tampak perbedaan sikap dari Kejaksaan. Samsul merupakan ketua Ormas yang selama ini tidak banyak terlibat dalam gerakan politik mendukung Jokowi. Ia cenderung dikenal sebagai tokoh pemuda yang aktif di jalanan.
Orang Sumut mungkin lebih banyak menyebutnya sebagai preman. Sebagai warga biasa, Kejaksaan sama sekali tidak pernah kecut untuk menangkapnya dan kemudian menjebloskannya ke penjara.
Berbeda dengan Silferster yang selama ini kerap tampil sebagai tameng untuk melindungi semua serangan politik kepada Jokowi. Dalam kasus ijazah Jokowi misalnya, Silferster adalah perisai yang selalu membela Jokowi dari semua sisi. Begitu juga untuk hal lainnya.
Tak heran jika Silferster mendapat posisi sebagai salah satu komisaris BUMN. Padahal dalam status sebagai terpidana, semestinya ia tidak bisa mendapatkan jabatan itu.
Tapi yang harus kita ingat, hukum di negeri ini adalah milik penguasa. Jika penguasa terbentur dengan hukum, maka hukum yang harus diubah.
![]() |
Silferster Matutina tak tersentuh hukum meski telah dijatuhi vonis kasasi enam tahun lalu hanya karena ia mendukung Jokowi |
Sudah banyak tokoh yang menghujat Kejaksaan karena sikap ambigunya ini. Bisa diibaratkan, saat ini pintu masuk kantor Kejaksaan seakan berserakan dengan kotoran dari anus Silfester, sehingga menghadirkan bau yang menyengat hingga ke seisi gedung lembaga itu. Masyarakat sudah mencium bau menyengat itu hingga dari kejauhan.
Tapi di mata pejabat kejaksaan, kotoran Silfester itu adalah bau harum yang sangat mereka butuhkan untuk melindungi diri. Makanya kotoran itu enggan mereka bersihkan. Mereka biarkan terus mengering di pintu gerbang.
Tak heran jika sampai detik ini Silferster yang telah dijatuhi hukuman secara inkrah pada 2019 oleh MA, belum tersentuh hukum. Ketika Samsul harus menerima eksekusi dengan cepat, Silferster justru masih bisa berpesta pora menikmati kebebasan tanpa batas.
Sampai kapan Kejaksaan mau merasakan bau busuk dari taik Silferster itu? Tidak ada yang bisa menjawab.
Ketika masalah ini ditanyakan kepada mereka, pihak Kejaksaan hanya berjanji akan segera melakukan eksekusi. Tapi janji itu tidak kunjung terealisasi.
Sepertinya Kejaksaan masih ingin menikmati roma busuk taik Silfester yang telah mengotori lembaga itu. Biarkan sajalah mereka begitu…***