![]() |
Situasi bentrokan antara warga dan petugas pengamanan PT.Toba Pulp Lestari di wilayah Buttu Pengaturan, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Senin (22/9/2025). |
Sebagai perusahaan besar yang telah lama beroperasi, PT TPL memiliki tanggung jawab tidak hanya dalam aspek ekonomi, tetapi juga dalam aspek Hak Asasi Manusia (HAM) kepada lingkungannya. Prinsip UN Guiding Principles on Business and Human Rights menegaskan bahwa korporasi memiliki kewajiban untuk menghormati HAM, menghindari pelanggaran, serta melakukan due diligence dalam setiap aktivitas bisnis.
Kekerasan kepada masyarakat adat jelas bertentangan dengan prinsip tersebut, dan bila dibiarkan, akan melemahkan legitimasi sosial perusahaan.
Di sisi lain, kami juga mengajak masyarakat adat untuk tetap menghormati konsesi lahan yang saat berada dalam pengelolaan PT TPL. Penyelesaian sengketa lahan dan perbedaan kepentingan seharusnya ditempuh melalui jalur dialog, mediasi, dan mekanisme yang damai, bukan dengan benturan fisik yang hanya memperpanjang konflik.
Masyarakat adat memiliki hak untuk memperjuangkan identitas dan ruang hidupnya, namun hak itu perlu dijalankan dalam bingkai penghormatan terhadap hukum.
Di sisi lain, pernyataan Ephorus terkait seruan penutupan PT TPL juga bisa merugikan banyak pihak, termasuk jemaat HKBP yang tinggal di kawasan operasi. Kehilangan lapangan kerja secara massal akan mengguncang stabilitas masyarakat secara luas, bukan hanya komunitas adat.
Saya mengecam insiden kekerasan yang terjadi di Sihaporas. Namun, estafet kesalahan satu kejadian tidak boleh menjadikan seluruh manajemen dan karyawan TPL sebagai pihak yang “jahat” secara kolektif. Perusahaan harus mengevaluasi dan memperbaiki manajemen keamanan, tetapi tetap layak diberi ruang untuk mempertahankan operasi dengan standar lebih humanis.
Fakta bahwa Perusahaan PT TPL telah mempekerjakan lebih dari 9.000 orang (langsung maupun tak langsung) dan bermitra dengan lebih dari 4.000 kelompok tani dan UMKM, itu hal yang tak terbantahkan. Jika dihitung bersama keluarga pekerja dan mitra, jumlah yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan usaha itu bisa mencapai puluhan ribu jiwa
Karena itu, saya menyerukan agar PT TPL segera melakukan transformasi pendekatan. Pertama, mengedepankan langkah humanis membuka ruang komunikasi, mendengarkan aspirasi masyarakat , serta membangun kesepakatan bersama yang adil.
Kedua, dengan menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, khususnya dalam praktik bisnis yang berdampak langsung terhadap masyarakat lokal.
Ketiga, dengan menyusun mekanisme pengaduan yang independen agar masyarakat memiliki saluran aman untuk menyampaikan keluhannya.
Saya percaya bahwa konflik yang berulang ini sebenarnya bisa diubah menjadi peluang bagi PT TPL untuk menunjukkan komitmennya terhadap praktik bisnis yang berkelanjutan dan menghormati HAM. PT TPL memang sudah cukup memberikan kontribusi ekonomi berupa pajak, lapangan kerja, atau program CSR, tetapi juga harus memastikan setiap pekerja, masyarakat adat, dan komunitas sekitar merasa dihargai martabatnya.
HKBP sebagai lembaga keagamaan yang memiliki pengaruh moral harusnya juga dapat menjadi mediator yang menjembatani dialog yang adil dan damai antara perusahaan dan masyarakat adat. Daripada menyerukan penutupan, mestinya Ephorus HKBP mendorong penyelesaian konflik melalui perundingan, rekonsiliasi, dan kompromi yang menghormati kedua belah pihak.
Dalam konteks ini, negara juga harus berperan menjembatani komunikasi antara PT TPL dengan masyarakat. Dengan komunikasi yang terbuka, dialogis, dan humanis, saya percaya konflik bisa mereda dan kepercayaan publik terhadap perusahaan dapat dipulihkan.
Saya berharap PT TPL dapat mempertahankan keberlangsungan usahanya tanpa terus-menerus terseret dalam konflik sosial karena bagaimanapun juga masyarakat di tapanuli raya membutuhkan kehadiran PT TPL . Saatnya perusahaan menunjukkan bahwa bisnis besar di Indonesia dapat maju tanpa harus mengorbankan hak asasi manusia masyarakat adat.
Bung Black Naibaho
DPP GMNI 2016-2019