![]() |
Sekelompok pemuda yang diduga pekerja PT TPL melakukan kekerasan terhadap warga desa di Buntu Panaturan, Nagori Sihaporas, Pematang Sidamanik, Simalungun, Sumatera Utara. Sejumlah warga terluka |
Konflik antara masyarakat desa dan pekerja Toba Pulp Lestari terjadi di Desa Buntu Panaturan, Nagori Sihaporas, Pematang Sidamanik, Simalungun, Sumatera Utara. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melaporkan, ratusan pekerja dan satuan pengamanan PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) menyerbu petani di desa itu pada Senin, 22 September 2025, pukul 08.40 WIB.
Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Tano Batak Jhontoni mengatakan lokasi penyerbuan berjarak sekitar sekitar 3 kilometer dari bibir Danau Toba di Dolok Mauli atau Ujung Mauli dan Sipolha. Diketahui, para pekerja TPL mengenakan seragam hitam-hitam.
“Mereka melengkapi diri dengan persenjataan parang bengkok, alat setrum, batang kayu, helm berkaca penutup wajah, tameng rotan, dan sepatu laras,” kata Jhontoni dalam keterangan tertulis yang diterima Kajianberita.com
Jhontoni menuturkan para pekerja perusahaan berkode emiten INRU itu menumpang sekitar 10 mobil, terdiri dari tujuh truk dan tiga mobil pribadi.
“Sesampai di lokasi, para petugas TPL langsung menyerbu warga masyarakat adat yang tergabung dalam Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras) di Posko Buntu Panaturan,” ujarnya.
Warga yang berjaga di lokasi menjadi korban pemukulan. Dalam foto dan video, tampak seorang ibu berinisial DL mengalami luka di wajah hingga berdarah di bibir kirinya.
“Warga yang berjaga, terutama ibu-ibu, menjadi korban pemukulan. Berdasarkan video yang dibagikan pengurus Lamtoras, tampak pekerja TPL memukuli warga,” kata Jhontoni.
Selain itu, pekerja TPL juga memukul tiga laki-laki yang berjaga, yakni SA (63), PS (55), dan ES (44).
“Juga ada korban dari kaum laki-laki,” tambahnya.
Hingga siang ini, Jhontoni menegaskan petugas TPL masih berada di lapangan. Tempo masih berupaya meminta respons dari manajemen TPL.
Masyarakat adat Sihaporas telah menghuni dan mewarisi tanah leluhur secara turun-temurun hingga sebelas generasi. Leluhur mereka, Martua Boni Raja atau Ompu Mamontang Laut Ambarita ‘mamukka huta’, memulai perkampungan sekitar awal 1800.
“Masyarakat Sihaporas bukan penggarap atau pendatang. Bukti sejarah, terdapat tujuh pejuang Veteran Kemerdekaan RI (LVRI). Penjajah Belanda pun pernah menggunakan tanah Sihaporas untuk kebun ubi dan tanaman pinus,” ujar Jhontoni.
Peristiwa kekerasan ini bukan yang pertama kali terjadi. Pada Kamis, 7 Agustus 2025, tiga warga Dusun Natinggir, Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, menjadi korban bentrokan dengan petugas keamanan TPL, yakni Thamrin Pasaribu, Walio Pasaribu, dan Rekson Pasaribu.
Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Rocky Pasaribu mengatakan tanah adat seluas sekitar 1.400 hektare itu telah dikelola warga Desa Natinggir secara turun-temurun selama 13 generasi.
![]() |
Salah seorang warga desa yang terluka akibat penyerbuan pekerja PT TPL |
"Salah satunya Thamrin Pasaribu yang saat ini masih dirawat di Rumah Sakit Balige akibat pukulan di belakang kepala," ujar Rocky.
Pihak TPL juga merusak permukiman masyarakat adat Natinggir dan diduga melakukan kekerasan terhadap anak-anak.
“Karyawan TPL melempari rumah-rumah warga dengan batu, menyebabkan anak-anak ketakutan dan trauma,” tambahnya. TPL diketahui milik taipan Sukanto Tanoto, sahamnya telah dibeli Allied Hill Limited yang bermarkas di Hong Kong.
Rocky menambahkan, penggusuran ini menambah catatan kekerasan TPL terhadap masyarakat adat serta memperparah krisis agraria di Sumut. Operasi TPL selama lebih dari empat dekade telah memonopoli 291.263 hektare tanah di Sumut atas nama hutan tanaman industri, merampas wilayah adat milik 23 komunitas di 12 kabupaten seluas 33.422,37 hektare.
Keluarga korban Thamrin Pasaribu telah membuat laporan pengaduan ke Polres Toba. “Kami mendesak Kapolres Toba menangkap pelaku pemukulan terhadap Thamrin Pasaribu,” ujar Rocky.
Ia menilai kekerasan yang terjadi bukan insiden tunggal atau kebetulan, melainkan konsekuensi pembiaran struktural oleh pemerintah daerah terhadap hak-hak masyarakat adat yang telah lama terabaikan. “Pemkab Toba tidak bisa terus menghindari tanggung jawab,” tambahnya. (temp)