Selama masa kepemimpinan Muryanto Amin sebagai rektor, tidak
bisa dibantah, USU seakan menjadi lembaga pendidikan yang berada di bawah
kendali Gubernur Bobby Nasution dan kelompok Pro Jokowi. Gejala ini tidak hanya
tampak sekarang, tapi sudah terlihat jelas tatkala Bobby masih menjabat
Walikota Medan.Rektor USU Muryanto Amin dan Gubernur Bobby Nasution, bersiap membawa gerbong USU tunduk pada kepentingan Pro Jokowi
Tidak lama setelah Bobby dilantik sebagai Walikota pada Maret 2021 lalu, Muryanto memboyong sejumlah pimpinan kampus untuk beraudiensi kepada menantu Jokowi itu. Seakan ia membawa marwah USU untuk siap di bawah kepemimpinan Bobby.
Sungguh, hal seperti itu tidak pernah dilakukan petinggi USU sebelumnya. Hanya dimasa kepemimpinan Muryanto, para akademisi dipaksa tunduk untuk kepentingan keluarga Jokowi. Tidak ada lagi independensi. Kepentingan politik dan proyek menjadi prioritas.
Jangan heran, sebab Muryanto dan Bobby berada dalam satu faksi politik yang sama. Muryanto adalah konsultan politik Bobby Nasution di dua Pilkada sebelumnya, yakni Pilkada Medan 2020 dan Pilkada gubernur Sumut 2024.
Setelah Bobby berkuasa, Muryanto secara tidak langsung menjadikan USU berada dalam asuhan Bobby. Jangan heran jika USU juga digiring untuk menyuarakan kepentingan Jokowi.
Sebagai imbalan jasa, USU mendapat sejumlah proyek dari pendanaan pemerintah daerah. Misalnya, ada proyek kolam retensi senilai Rp20 miliar, ada pula proyek pembangunan Plaza UMKM yang menelan anggaran Rp 115 miliar. Belakangan kedua proyek ini terindikasi adanya manipulasi menurut audit BPK.
Yang lebih mengejutkan, Gubernur Bobby juga telah menghibahkan USU uang senilai Rp41 miliar untuk membiayai kegiatan yang tidak jelas peruntukannnya. Karuan, gelontoran dana itu langsung mendapat protes keras dari DPRD Sumut saat berlangsung rapat paripurna 17 September 2025.
Syahrul Ependi Siregar mencurigai pemberian dana itu terkait dengan kerjasama politik antara Bobby dan Rektor Muryanto Amin.
“Saya curiga ada main mata antara keduanya. Bayangkan, pemberian hibah itu dilakukan secara diam-diam tanpa ada koordinasi dengan dewan. Padahal saat ini ekonomi sedang krisis. Harusnya uang sebesar itu bisa dimanfaatkan untuk penguatan ekonomi rakyat,” kata Syahrul Ependi Siregar.
Di tengah banyaknya uang mengalir dari Pemerintah Daerah ke USU, Rektor Muryanto Amin justru menetapkan biaya uang kuliah setinggi langit. Bayangkan, seorang mahasiswa baru yang lulus seleksi dipaksa membayar uang pendaftaran hingga Rp 60 juta. Biaya itu termasuk dana pembangunan dan uang kuliah satu semester.
Alhasil, sekitar 900 mahasiswa baru gagal melanjutkan kuliah pada 2025 ini. Kebanyakan dari mereka terpaksa memilih kuliah di perguruan tinggi swasta yang biayanya jauh lebih murah.
Sangat memprihatinkan sekali. Di masa kepemimpinan Muryanto, ada banyak sekali cacat yang membuat USU terus menjadi sorotan. Padahal kampus ini memiliki asset yang cukup besar. USU merupakan satu-satunya kampus yang memiliki lahan perkebunan sawit mencapai 6.000 hektar berlokasi di Mandailing Natal dan Langkat.
Dengan harga sawit yang sangat ekonomi belakangan ini, semestinya keuntungan berlimpah bisa masuk ke kas kampus itu. Nyatanya, Muryanto mengaku kalau usaha perkebunan itu masih merugi. Aneh!
Sudah pasti banyak yang tidak percaya. tak heran jika tuntutan agar USU melakukan reformasi terus disuarakan berbagai kelompok alumni dan para dosen senior. Kemudi kampus harus diambil alih rektor yang reformis yang siap mengelola kampus secara independent dengan pengelolaan keuangan yang harus transparan.
Kualitas pendidikan mesti lebih ditingkatkan agar penelitian para akademisinya mendapat pengakuan internasional. Jangan seperti sekarang, diragukan di banyak jurnal. Sampai-sampai hasil penelitian akademisi USU masuk dalam kategori red flag alias kurang dipercaya. Sejumlah jurnal pun menolak menerbitkannya. Ini tentu sangat memalukan!
Reformasi USU adalah hal yang mutlak jika ingin maju. USU harus mampu tampil sebagai kampus dengan identitas sebagai mercusuar ilmu. Bukan alat politik penguasa, apalagi penjilat dan tunduk kepada kepentingan kelompok tertentu.
Rektor USU harus paham hukum. Sebagai seorang ASN, ia mutlak tidak bisa terlibat dalam kegiatan politik praktis, apalagi bermain mendukung kandidat tertentu pada Pemilu dan Pilkada. Ada aturan tegas melarang itu.
Seorang rektor harusnya menjunjung tinggi integritas dan kualitas akademik, bukan justru terlibat praktik politik transaksional.
Jika USU ingin berkembang, Muryanto harus dibuang! Jika ia bertahan, USU tetap akan menjadi alat kepentingan penguasa. Ada jaringan Pro Jokowi yang mengendalikan kampus itu melalui tangan Bobby Nasution. Mahasiswa pun akan dibungkam. Tidak ada kebebasan berekspresi. Tidak boleh ada gerakan yang menentang kebijakan pemerintah daerah.
![]() |
Aksi demonstrasi mahasiswa USU memprotes tingginya uang kuliah |
- Prof. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum, guru besar dan Ketua Program Magister Kenotariatan
- Dr. dr. Johny Marpaung, M.Ked (OG), Sp.OG, Subsp-KFM, dosen Fakultas Kedokteran
- Dr. Drs. Firman Syarif, M.Si, Ak, CA, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
- Prof. Dr. Syahril Efendi, S.Si, MIT, guru besar FMIPA
Namun harus dipahami, bahwa jauh-jauh hari Muryanto sudah menyusun strategi agar ia kembali mulus terpilih sebagai rektor periode kedua. Sebanyak 112 Senat Akademik dan 18 anggota Majelis Wali Amanat (MWA) selaku pihak yang berhak memberikan suara pada pemilihan rektor, adalah orang-orang pilihannya. Sebagai rektor, ia memegang kendali dalam menentukan keanggotaan Senat Akademik dan MWA itu.
Jadi, tidak mudah bagi keempat kandidat independen itu untuk bisa menggeser Muryanto dari list kandidat potensial. Walau Muryanto terus dicecar berbagai kasus korupsi dan manipulasi, toh, peluangnya untuk kembali jadi rektor masih terbuka lebar.
Kuncinya memang ada pada kesadaran para anggota Senat Akademik dan MWA.
Ironisnya, sebagian besar pemegang suara ini masih percaya bahwa kubu Pro Jokowi akan bangkit pada Pemilu 2029 mendatang. Ketertundukan kepada Muryanto seakan membuat hati anggota Senat akademik dan MWA USU lupa bahwa mereka semestinya memiliki mata yang jeli dalam menilai gerak politik penguasa. Bukan justru menjadi bagian dari penjilat penguasa.
Kesadaran para anggota Senat Akademik ini yang sangat diharapkan para alumni agar almamater bisa berkembang lebih maju.
“Kita berharap Senat Akademik sebagai pemegang hak suara pada pemilihan rektor nanti bisa menjadikan pemilihan itu sebagai jembatan untuk membangun USU lebih baik ke depan, bukan untuk kepentingan penguasa,” kata Akhyar Nasution, mantan walikota Medan, alumni Fakultas Teknik USU angkatan 1988.
Jika Senat Akademik bisa memilih rektor yang tepat, diyakini USU akan kembali bisa menuai kejayaan sebagaimana pamornya di masa lalu. USU adalah kampus terbesar di luar Jawa yang dulu pernah masuk dalam daftar Proyek Perintis I bersama UI, ITB dan UGM. Tapi sekarang pamor kampus ini berada di bawah Universitas Andalas, Unhas dan kampus menengah lainnya. (tamat) ***