![]() |
Aksi demonstrasi di KPK menuntut pemeriksaan Gubernur Bobby Nasution dan Rektor USU Muryanto Amin dalam kasus korupsi di Sumut |
Selama menjabat sebagai rektor, mencuat sejumlah skandal yang melibatkan Muryanto, antara lain, ia begitu terang benderang terlibat dalam politik praktis. Bahkan sudah tidak rahasia lagi kalau Muryanto aktif berperan sebagai konsultan politik Bobby Nasution dalam dua Pilkada di Sumut.
Muryanto bermain di kalangan akademisi dalam hal menggalang opini dan mengatur strategi. Di sisi lain, ada peran sosok Agus Andrianto (mantan Kapolda Sumut dan juga Wakapolri) yang bermain untuk mengorganisir aparat kepolisian membantu kampanye Bobby Nasution di lapangan.
Muryanto kini telah menempatkan Agus Andrianto sebagai Ketua Majelis wali Amanat USU. Di tingkat pusat, Agus tetap menjabat sebagai Menteri Imigrasi dan Lembaga Pemasyarakatan RI. Dengan keberadaan Agus Andrianto di kampus USU, maka bisa dipastikan kalau Muryanto telah menjerumuskan kampus USU dalam lingkaran politik untuk kepentingan Bobby Nasution.
Tiga serangkai ini, Agus, Muryanto dan Bobby Nasution akan bermain untuk mendorong kembali bangkitnya kekuasaan Dinasty Joko Widodo pada Pemilu 2029. Selain ketiga nama itu, ada pula sosok Luhut Pandjaitan yang berada di balik layar.
Langkah pertama dari kelompok ini adalah menguasai USU dalam pemilihan rektor yang berlangsung pekan ini. Segala daya akan mereka lakukan agar Muryanto kembali berkuasa.
Sudah pasti Bobby Nasution dan Agus Andrianto turut bermain secara langsung. Apalagi kedua sosok ini punya suara pada pemilihan di tingkat Majelis Wali Amanat nanti.
Bobby Nasution dan Agus Andrianto akan berkolaborasi melawan suara dari Mendikti Saintek untuk bisa meloloskan kembali Muryanto Amin sebagai rektor dengan suara terbanyak. Di mata Bobby Nasution, jabatan rektor USU merupakan pertarungan politiknya, sebab jika Muryanto gagal menduduki jabatan rektor lima tahun ke depan, scenario politik mereka pada 2029 akan berantakan.
USU hanyalah batu loncatan. Pada fase berikutnya kubu pro Jokowi ini akan bermain menguasai perguruan tinggi lain. Target selanjutnya adalah Universitas Airlangga, Jawa Timur, karena ada sosok Khofifah Indar Parawansa yang juga masuk dalam barisan Pro Jokowi di sana. Tentu saja Universitas Diponegoro tak luput jadi sasaran karena Pro Jokowi ingin memperkuat pengaruh di wilayah Jawa Tengah.
KPK yang sedang menangani kasus korupsi jalan di Sumut sebenarnya tidak mau menyentuh persoalan politik ini karena mereka lebih focus pada persoalan hukum. Namun hasil investigasi lembaga itu telah membuktikan secara nyata bahwa Muryanto dan Bobby berada adalam satu cyrcle barisan politik. Topan Ginting – mantan Kepala Dinas PUPR Sumut yang kini meringkuk dalam tahanan KPK – juga tergabung dalam kelompok itu.
Dari temuan KPK ini yang kemudian terbangun logika adanya kerjasama politik antara Bobby, Muryanto dan Agus Andrianto untuk menguasai USU. Makanya tak heran jika Bobby rela mengalirkan uang untuk kepentingan Muryanto agar bisa menguasai suara dari Senat Akademik pada pemilihan rektor.
Para senat Akademik bisa saja membantah tuduhan itu, sebab tidak semua suara mereka bisa dibeli. Tapi tetap saja ada beberapa orang yang terlibat. Mereka bergerak dalam senyap sehingga tidak tampak dipermukaan. Mereka ini adalah anggota senat yang memiliki cantolan langsung ke Muryanto.
Akan Terungkap di Sidang Korupsi
Terkait adanya uang korupsi yang mengalir dari kubu Bobby Nasution untuk kepentingan pemilihan rektor, sebenarnya bisa saja terungkap melalui keterangan dari Muryanto dalam pemeriksaan di KPK. Tapi sudah dua kali panggilan dilayangkan oleh KPK, Muryanto tetap mangkir.
Bisa dipastikan, ia sengaja mengulur waktu karena saat bersamaan sedang ada pemilihan rektor USU. Muryanto sepertinya sangat kuatir jika skandal aliran uang itu akan terungkap ke ruang public lebih cepat. Kalau itu terjadi, bukan hanya dia saja yang malu, sejumlah Senat Akademik juga akan dikuliti.
Akan lebih aman bagi Muryanto kalau pemeriksaan KPK dilakukan setelah proses pemilihan rektor di tingkat akademik selesai pada 25 September. Bahkan lebih baik lagi kalau ia diperiksa usai tahapan pemilihan akhir tingkat majelis Wali Amanat pada 2 Oktober 2025 di Jakarta.
Kalaupun aib itu terbongkar kemudian, tapi jika jabatan rektor sudah ada di tangan, setidaknya Muryanto masih bisa bermain. Ia pasti akan berusaha semaksimal mungkin agar tidak dijadikan tersangka. Cukup sebagai saksi saja.
Masalahnya, KPK sendiri sedang berusaha memperbaiki citranya dari tuduhan yang selama ini dianggap tidak berani menyentuh korupsi keluarga Jokowi. Bobby Nasution sebagai menantu Jokowi memang belum tersentuh dalam kasus korupsi proyek jalan ini. Namun secara perlahan, pemeriksaan ke arah itu sudah mulai dilakukan.
Tentunya orang-orang dekat Bobby yang terlebih dahulu dijaring. Setelah Topan Ginting, Muryanto adalah sasaran potensial berikutnya. Oleh karena itu, agar USU aman dari tuduhan terlibat konspirasi keluarga Jokowi, semestinya Senat Akademik aktif melakukan pembersihan saat berlangsung pemilihan rektor ini.
Mendikti Saintek telah menunjukkan ketidaksukaannya kepada kepemimpinan Muryanto Amin. Masihkah Senat Akademik membela?
Kalau mereka tetap ngotot ingin Muryanto tetap sebagai rektor, artinya Senat Akademik berperan besar menjerumuskan USU berada di bawah ketiak kubu pro Jokowi. Kampus ini tidak akan pernah maju. Kolusi politik akan menjadi budaya yang berkembang ke depan.
Bisa saja Muryanto mengelak dari tuduhan soal keterlibatannya menerima aliran dana korupsi dari kelompok Bobby Nasution. Tapi persidangan kasus manipulasi proyek jalan itu sudah digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan.
Hanya tinggal menunggu waktu untuk menyaksikan nama Muryanto disebut sebagai pihak yang menerima aliran dana. USU pasti menanggung malu..!
Padahal kalau berkaca pada sejarah, USU adalah kampus besar yang posisi awalnya setara dengan UI, ITB dan UGM. Tapi sekarang prestasinya jauh melorot. Jangankan bersaing di tingkat nasional, di wilayah Sumatera saja, dalam hal penelitian dan hak paten, USU kalah jauh dibanding Universitas Andalas, Padang. Panik nggak…panik nggak…!
Skandal Kebun Kelapa Sawit
Tidak hanya terlibat dalam politik praktis dan korupsi proyek jalan, Muryanto juga mendapat sorotan dalam kasus permainan pengelolaan kebun kelapa sawit seluas hampir 6.000 hektar di Mandailing Natal dan di Tambunan, Langkat.
Kebun kelapa sawit itu adalah milik USU yang berasal dari hibah pemerintah di masa Presiden BJ Habibie. Negara memberikan asset itu kepada USU sebagai pemasukan untuk membantu mahasiswa kurang mampu, sehingga USU bisa menerapkan biaya kuliah lebih rendah.
Namun apa yang terjadi, rektor USU justru memberikan hak pengelolaan kebun kepada pihak ketiga. Bahkan sekarang ini hak kepemilikannya sudah beralih ke pihak swasta. Di sisi lain, koperasi USU telah mengagunkan asset kebun itu untuk mendapatkan kredit Rp228 miliar dari BNI 46.
Kabar lain yang beredar, lahan itu telah dikuasai oleh Asian Agri. Padahal perusahaan itu sama sekali tidak pernah menandatangani kerja sama resmi dengan Koperasi USU. Namun anehnya nama perusahaan itu muncul dalam dokumen pengagunan lahan ke bank.
Ini tentu kejanggalan serius. Rektor Muryanto amin dianggap tidak becus untuk menangani masalah ini. Bahkan rektor terkesan berdiam diri. Pada akhirnya Ikatan Alumni yang justru bergerak aktif untuk meminta kembali pengembalian status kebun itu ke USU. Yang lebih parah lagi, rektor pernah mengklaim perkebunan itu belum menguntungkan.
Hal ini yang sangat tidak masuk diakal. Aset kebun yang begitu besar, justru terbuang seakan tak berharga. Padahal saat ini harga sawit terus melonjak. Para perusahaan besar juga sedang beramai-ramai ekspansi di usaha perkebunan sawit. USU yang memiliki 6.000 hektar lahan di dua tempat, justru menyia-nyiakan peluang itu.
Siapa yang tidak geram. Toh, begitupun, masih ada saja anggota senat akademik yang membela Muryanto.
Tak bisa dibantah, selama lima tahun ke belakang, nama kampus USU lebih banyak terlibat dalam gerakan membantu kubu Pro Jokowi ketimbang berkarya dalam dunia akademisi. Prestasi USU merosot tajam dibanding kampus lain. Sampai-sampai karya ilmiah akademisinya masuk ketegori red flag alias kurang dipercaya.
Untuk bisa bangkit mengukir kejayaan, reformasi harus segera dilakukan. USU butuh rektor yang independen, yang bisa membangkitkan semangat berbasis intelektual, bukan berbasis kekuasaan. USU harus cerdas memainkan perannya sebagai mercusuar intelektual, bukan sebagai gerbong politik untuk kepentingan penguasa.
Rektor haruslah punya visi yang kuat dalam memajukan kampus, bukan menjadikan kampus sebagai tameng meraih kejayaan politik dan kekayaan.
Jauhkan USU dari pimpinan penjilat. Sesungguhnya penjilad itu bekerja untuk kepentingan dirinya, bukan untuk kepentingan komunal. ***