Menyikapi Seruan Ephorus HKBP Agar Berhenti Beroperasi, Ini Respon PT Toba Pulp Lestari

Sebarkan:
Corporate Communication Head PT TPL, Salomo Sitohang

Perdebatan antara masyarakat lokal dan pengelola PT Toba Pulp Lestari terkait keberadaan perusahaan produsen pulp (bubur kertas) itu di Kabupaten Toba semakin meruncing. Ephorus HKBP, Victor Tinambunan, selaku pimpinan tertinggi organisasi Kristen Protestan -- agama terbesar di Toba telah menyerukan -- agar perusahaan milik konglomerat Sukanto Tanoto itu segera ditutup.

Menanggapi seruan itu,  Corporate Communication Head PT TPL, Salomo Sitohang, pada Kamis (19/6) menegaskan bahwa seruan itu sangat tidak masuk diakal. Selama lebih dari tiga dekade beroperasi, menurut Salomo Sihotang, perusahaan telah menjalin komunikasi inklusif dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat adat, tokoh agama, akademisi, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Komunikasi tersebut dilakukan melalui forum dialog, sosialisasi, dan program kemitraan.

“Selama ini kalau ada masalah, selalu kita bahas bersama. Mengapa sekarang kok malah diminta untuk tutup,” kata Salomo.

Dia juga membantah anggapan bahwa kegiatan PT TPL menjadi biang kerusakan ekologis.

Salomo menjelaskan, seluruh kegiatan operasional dilaksanakan berdasarkan izin yang sah dan sesuai regulasi. Perusahaan juga menyatakan kegiatan di lapangan mengikuti prosedur operasional standar (SOP) yang terdokumentasi dan dijalankan secara konsisten.

"Pemantauan lingkungan dilakukan secara rutin, bekerja sama dengan lembaga independen bersertifikat, untuk memastikan bahwa operasional kami tetap dalam koridor ketentuan lingkungan," jelas Salomo.

PT TPL juga menyoroti upaya perusahaan dalam menggunakan teknologi ramah lingkungan melalui peremajaan pabrik, serta menegaskan hasil audit Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) periode 2022–2023 menyatakan kepatuhan perusahaan terhadap seluruh aspek regulasi, tanpa pelanggaran lingkungan maupun sosial.

PT TPL, jelas Salomo, berkomitmen dalam menjalankan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) di berbagai bidang, mulai dari pendidikan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat, hingga konservasi alam, secara rutin dan berkelanjutan.

Menanggapi tuduhan deforestasi, Salomo mengungkapkan, kegiatan tanam dan panen eucalyptus dilakukan secara berkelanjutan di area konsesi resmi. Dari total 167.912 hektare lahan yang dimiliki, sekitar 46.000 hektare digunakan untuk perkebunan eucalyptus, sementara 48.000 hektare dialokasikan sebagai kawasan konservasi.

Di sisi ekonomi, PT TPL mengklaim telah memberi kontribusi signifikan dengan menyerap lebih dari 9.000 tenaga kerja, serta bermitra dengan lebih dari 4.000 kelompok tani dan pelaku UMKM. Aktivitas perusahaan disebut menopang kehidupan sekitar 50.000 jiwa di wilayah operasionalnya.

"Perusahaan terbuka terhadap kritik yang membangun, selama disampaikan berdasarkan data dan fakta. Kami juga siap berdialog dengan seluruh pihak demi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan di wilayah Tano Batak," tutup Salomo.

PT Toba Pulp Lestari (TPL) pada dasarnya telah hadir di Toba sejak  April 1983. Sedangkan kegiatan usaha komersialnya dimulai pada April 1989, dengan fokus pada industri pulp dan bahan kimia penunjang.

Namun kerusakan lingkungan yang dihadirkan perusahaan itu membuat keberadaannya ditentang para aktivitas lingkungan dan tokoh agama di Kabupaten Toba.  Apalagi areal perkebunan Perusahaan yang mengembangkan tanaman eucalyptus (bahan untuk pembuatan bubur keras) sangat luas, mencapai 167.912 hektar. Namun batas lahan itu tidak jelas sehingga kerap memunculkan konflik dengan masyarakat local.

Tidak sedikit warga Toba yang mengaku lahan perkebunan mereka telah dirampok PT Indorayon sehingga konflik antara perusahaan dan warga local terus berkepanjangan. Alhasil, pada 1995 perusahaan itu terpaksa berhenti beroperasi setelah gelombang aksi terus menentang mereka.

Pada tahun 2000, perusahaan itu kembali mendapat dukungan dari pemerintah untuk beroperasi kembali. Dalam upaya re-branding dan meredakan ketegangan dengan masyarakat, perusahaan itu mengubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL). 

Meski telah berubah nama, namun konflik dengan masyarakat tak kunjung usai karena keberadaan perusahaan itu tetap dianggap telah mencemarkan lingkungan. Konflik dengan warga lokal terkait lahan kebun juga tidak pernah mereda.

Situasi ini yang membuat Ormas HKBP akhirnya ikut bersuara. Ephorus atau pimpinan tertinggi HKBP tegas menyatakan agar perusahaan itu ditutup. Seruan ini  yang menjadi perdebatan hingga saat ini. ****

 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini