-->

Projo, Contoh Nyata Kesetiaan Semu Sesuai dengan Bayaran

Sebarkan:

Ketua Umum (Ketum) Projo Budi Arie Setiadi bersama pengurus lainnya dalam Kongres III Projo, Jakarta Pusat, Minggu (2/11/2025)
Projo bukan lagi Pro Jokowi. Logo Projo yang selama menampilkan wajah Jokowi dipastikan bakal berganti sebagaimana diutarakan Ketuanya, Budi Arie Setiadi. Mantan Menteri Infokom dan Menteri Koperasi ini  juga memunculkan kabar bahwa organisasi relawan tersebut tidak lagi memberikan dukungan kepada Joko Widodo (Jokowi). Di mata Projo, Jokowi sudah selesai..! Ya, duit dari Jokowi dan antek-anteknya sudah tidak mengalir lagi ke organisasi itu.

Kongres Projo yang diselenggarakan di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Minggu (2/11/2025) menjadi sorotan dengan semua perubahan itu. Kongres itu, selain memilih Kembali Budi Arie Setiadi sebagai Ketua Umum periode 2025-2030, Projo juga mengumumkan perubahan logo gambar organisasi tersebut dan ditambah mendeklarasikan komitmen dukungan kepada Presiden Prabowo Subianto.

"Yang pasti begini, satu, kita akan memperkuat dan mendukung agenda-agenda politik Presiden Prabowo. Yang kedua, dalam rangka itu, Projo akan melakukan transformasi organisasi yang salah satunya adalah kemungkinan mengubah logo Projo," katanya.

Pernyataan tersebut jelas menimbulkan tanya di kalangan masyarakat, apakah Budi Arie dan Projo masih berada di belakang Jokowi? Mungkin saja masih, tapi Jokowi tidak lagi punya kekuatan signifikan saat ini. Apalagi Kapolri Jenderal Lystio Sigit  Prabowo, Loyalis Jokowi, tak lama lagi akan diganti.

Lystio adalah Kapolri yang terkenal aktif mendukung aktivitas politik Jokowi. Di masa kepemimpinannya, kapolri berubah menjadi alat politik sehingga muncul istilah Partai Colkat. Partai ini yang kemudian berperan mendukung kemenangan Bobby Nasution pada Pilkada Medan 2020 dan Pilkada Sumut 2024.  

Kala Jokowi masih berkuasa,  hubungan Projo dan Jokowi seakan tak bisa dipisahkan. Projo didirikan melalui Kongres I Projo pada 23 Desember 2013 atau jelang Pilpres 2014 oleh kader PDI Perjuangan dan aktivis mahasiswa 1998, antara lain Budi Arie Setiadi, Gunawan Wirosaroyo, dan Suryo Sumpeno.

Pembentukan Projo tidak lain untuk mendukung Jokowi maju sebagai capres Pilpres 2014. Kontribusi Projo disebut memiliki andil besar dalam kemenangan Jokowi, bahkan hingga di periode berikutnya pada 2019. Projo juga yang memberikan dukungan kepada putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, saat maju di Pilpres 2024 sebagai cawapres Prabowo Subianto.  

Banyak relawan yang bergabung ke Projo karena uang mengalir ke organisasi itu sangat banyak. Budi Arie sebagai ketua bisa memainkan peran sehingga mampu mendapatkan aliran uang tak henti dari berbagai BUMN dan Kementerian lainnya. Ia menjadi sosok yang disegani karena mendapat dukungan langsung dari Jokowi.

Tapi kini semua berubah. Kesetiaan Projo kepada Jokowi dipertanyakan ketika Jokowi tidak lagi menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia.  Praktis aliran dana kepada Projo juga tidak lagi lancer. Apalagi Budi Arie juga telah dicampakkan dari jabatan Menteri karena keterlibatannya dalam mendukung judi online di Indonesia. Sampai-sampai Budi Arie dijuluki bapaknya judi online.

Saat memberi perlindungan bagi judi online itu, Budi Arie disebut-sebut bisa mendapatkan limpahan uang yang sangat banyak. Setelah kebusukannya terungkap, ia kini tak bisa lagi mendapatkan masukan apapun. Malaha da kemungkinan ia akan menjadi tersangka dalam kasus perlindungan judi online itu.

Dengan posisinya yang semakin tersudut, Budi pasti membutuhkan perlindungan. Ia pun berencana meninggalkan Jokowi untuk berlabuh dalam naungan Prabowo Subianto. Malah tanpa malu sedikitpun, Budi lantas mengaku kalau projo pada dasarnya bukanlah pro Jokowi, tapi diambil dari Bahasa sansekerta yang berarti peduli pada rakyat.

Tidak jelas kebenaran alasan itu. Tapi semua tahu kalau Budi adalah sosok penjilat yang ingin mencari kekayaan saja. 

Ketika uang dari juragannya masih mengalir lancar, ia akan setia. Tapi Ketika uang tidak lagi cair, ia akan mencari juragan baru. Kini ia ingin menjadikan Prabowo sebagai juragan baru itu. Jokowi pun disingkirkan.

Kabar simpang siur tentang hubungan Projo dan Jokowi menjadi atensi publik belakangan ini. Menurut sejumlah kalangan, Projo tidak lagi memberikan dukungan kepada Jokowi, sosok yang dibela sejak 2013, setelah mencuat isu terkait keinginan Budi Arie bergabung dengan Gerindra, ketimbang PSI.

Rumor merenggangnya hubungan Projo dan Jokowi kian santer seusai kongres akhir pekan kemarin. Presiden ketujuh Jokowi diketahui tidak hadir dalam kongres, dan ia memberikan sambutan hanya melalui video rekaman.

Selain itu, Budi Arie juga menegaskan akan mengganti logo Projo, sehingga lambang siluet wajah Jokowi yang ada akan segera berganti desain. Namun mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) itu menegaskan perubahan itu sebagai bentuk transformasi organisasi untuk menghadapi tantangan perkembangan zaman.

Hal lain yang juga menimbulkan kesan bahwa Projo tak lagi mesra dengan Jokowi adalah adaya bantahan Budi Arie bahwa Projo singkatan dari Pro Jokowi, sebagaimana yang diyakini masyarakat luas selama ini. Singkatan tersebut, kata Budi, itu justru hadir dari media, padahal aslinya Projo berasal dari bahasa Sansekerta atau bahasa Jawa Kawi.

Ia mangatakan, media sering menyebut projo dalam bahasa Sanskerta sebagai singkatan "Pro Jokowi" lantaran mudah diucapkan.

"Jadi projo itu sendiri artinya adalah negeri dalam bahasa Sansekerta, dan dalam bahasa Jawa Kawi itu artinya rakyat," ujar Budi saat pengadaan Kongres III Projo.

Meski demikian, Budi Arie menegaskan Projo tidak mungkin lepas dari Jokowi karena memang lahir dari semangat mantan Wali Kota Solo tersebut.

Manuver Projo

Budi Arie memang berkali-kali membantah perubahan logo dan suara dukungan kepada Prabowo sebagai pertanda renggangnya hubungan dengan Jokowi. Namun para pengamat tidak menganggap demikian.

Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri mengatakan, langkah yang diambil Projo adalah bagian dari upaya melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi dan mengikuti kelompok politik yang sedang berkuasa sekarang, yaitu Prabowo dan Gerindra.

“Hal itu terlihat secara jelas tidak hanya dari sikap Budi Arie untuk mau masuk Gerindra, tetapi juga dari mengganti logo Projo yang sebelumnya siluet Jokowi sekaligus menyebutkan makna nama Projo yang ternyata tak terkait langsung dengan Jokowi,” tutur Aisah.

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai, Budi Arie tengah bermain di dua kaki. Di satu sisi, ia ingin bergabung dengan partai penguasa. Namun, di sisi lain, dia tetap mempertahankan Projo sebagai organisasi relawan.

“Publik tahu bahwa sikap relawan politik semacam ini sangat tergantung arah politik bos mereka. Jadi, relawan begini rasa partai politik karena afiliasi politiknya jelas,” katanya.

Sekarang keputusanya ada di tangan Prabowo dan Gerindra.  Apakah Gerindra dan Prabowo mau menerima sosok Budi Arie yang jelas-jelas punya prilaku penjilat.   

Kalau Prabowo dan Gerindra buta mata, mungkin saja mereka menerima begitu saja kehadiran Budi dan kawan- kawannya. Tapi kalau sedikit saja cerdas melihat kondisi di masyarakat, harusnya Gerindra dan Prabowo menolak bergabungnya Budi cs di partai itu.  

Memelihara sosok seperti Budi Arie tidak ubahnya memelihara anak singa. Jika nanti ia punya ruang menyerang, bukan tidak mungkin Prabowo pun akan diserang kemudian ditinggalkan seperti Jokowi. Maka itu, Gerindra dan Prabowo harus berhati-hati. Kalaupun mau menerima kehadiran Budi Arie dan barisan Projo masuk ke partai itu, penempatan Budi harus tepat.

Ia lebih pantas sebagai pembuat kopi atau tukang sapu kantor, ketimbang sebagai pengurus partai. Budi harus mendapat  bayaran sesuai porsi kerjanya. Sebab di mata Budi Arie, sikap politik itu harus sesuai dengan bayaran. Kalau duit lancar, kesetiaan akan ditunjukkan dengan cekatan. Kalau fulus tidak cair, terpaksa cari toke baru. ***

 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini