Rencana DPR RI untuk mengubah system pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari Pemilihan langsung menjadi pemillihan lewat DPRD terus menggelinding. Rencana ini sangat mungkin berjalan karena hanya satu fraksi di DPR RI yang tegas menolak, yakni PDIP.
Namun arus bawah, khususnya para aktivitas demokrasi, pakar politik, pemerhati pemilu, aktivis antikorupsi, dan pihak ormas keagamaan ramai-ramai menolak perubahan ini.
Pakar pemilu, Titi Anggraini, mengatakan ide pilkada tak langsung (lewat DPRD) merupakan bentuk pengabaian sejarah dan kekeliruan berpikir. Argumen pro-pilkada via DPRD yang dia patahkan adalah argumen politik uang di pilkada langsung. Karena faktanya, untuk pemilihan kepala daerah tahun 2000 saat pilkada via DPRD diterapkan, begitu banyak praktik politik uang yang berkelindan dan ongkos politik yang mahal.
"Wacana menghapus pilkada langsung dengan alasan efisiensi biaya tidak hanya keliru secara empiris, tetapi juga mengabaikan pelajaran penting dari sejarah," ucap Titi melalui pesan singkat, Selasa (30/12/2025).
Titi merupakan pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia sekaligus aktivis Perludem. Dia menilai pemilu tidak langsung semacam pilkada via DPRD menyimpang dari asas pemilihan umum.
Beragam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) secara eksplisit menegaskan rezim pemilihan kepala daerah sama dengan rezim pemilihan presiden, termasuk juga legislatif.
Hal ini tertuang dalam Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022, Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024, Putusan MK No. 104/PUU-XXIII/2025, dan secara eksplisit dalam Putusan MK No. 110/PUU-XXIII/2025. Karena itu, berlaku juga Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berlaku untuk semua jenis pemilu, termasuk Pilkada.
Penolakan yang sama disampaikan lembaga antikorupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW). Lembaga ini menilai, dilihat dari sisi manapun, wacana ini tidak beralasan dan justru mengandung logika yang mengkhawatirkan.
Staf Divisi Advokasi ICW Seira Tamara dalam keterangan tertulis, Selasa (30/12/2025) mengatakan, biaya politik yang tinggi yang membuat rawannya terjadi praktik politik uang tak bisa menjadi alasan wacana kepala daerah dipilih DPRD ini diwujudkan. Sebab, tambahnya, biaya yang dikeluarkan negara untuk pelaksanaan Pilkada tak bisa hanya dilihat sebagai bentuk pemborosan yang kemudian menghalalkan penghapusan partisipasi publik dalam pemilihan.
Seira mengatakan, Pilkada secara langsung oleh rakyat justru dilakukan untuk meminimalisir praktik transaksional yang banyak terjadi ketika sebelumnya kepala daerah dipilih oleh DPRD.
“Jadi, secara runtutan, bukan pelaksanaan Pilkada langsung yang menimbulkan praktik politik uang. Tetapi pilkada langsung justru dihadirkan untuk mengatasi politik uang yang terjadi secara tertutup dan minim akuntabilitas ketika DPRD memiliki kewenangan untuk memilih kepala daerah,” tuturnya.
Menilik kualitas DPRD berdasarkan catatan ICW, sepanjang tahun 2010-2024 terdapat 545 anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi.
“Artinya pilkada oleh DPRD justru tidak dapat menghilangkan praktik politik uang dan justru berpotensi meningkatkan ruang transaksi politik yang tidak dapat diawasi oleh masyarakat,” kata dia.
Sementara itu aktivis 98 sekaligus Wasekjen PBNU, Rahmat Pulungan, menilai usulan pilkada via DPRD bukan solusi atas mahalnya ongkos politik, melainkan justru berpotensi menjadi bencana politik dan merampas hak rakyat.
“Memilih pemimpin daerah itu hak politik rakyat. Tidak berkah mengambil hak mereka. Jangan serakah,” tegas Rahmat dalam keterangan tertulis, Selasa (30/12/2025). Ia menegaskan, persoalan utama pembangunan daerah selama ini bukan terletak pada mekanisme Pilkada langsung, melainkan pada birokrasi yang mahal, boros, dan minim peningkatan kapasitas serta kapabilitas.
Terkait tingginya biaya Pilkada, Rahmat menilai solusinya bukan dengan mencabut hak rakyat melalui pemilihan oleh DPRD, melainkan dengan merancang desain pemilu yang lebih sederhana, murah, dan praktis.
“Untuk efisiensi biaya dan efektivitas Pilkada, yang dibutuhkan itu desain pemilu yang lebih sederhana. Dengan pengalaman lebih dari 20 tahun, saya yakin kita bisa membuat model yang jauh lebih praktis,” tegasnya.
Ia juga menepis anggapan bahwa mahalnya biaya politik bersumber dari rakyat. Menurutnya, biaya politik justru mahal karena dinamika elite di level atas, bukan tekanan dari masyarakat.
Sejauh ini, baru ada satu parpol yang terang-terangan menolak wacana pilkada via DPRD, yakni PDI-Perjuangan.
"Kami hormati sikap partai lain, tapi PDI Perjuangan tetap ingin pilkada langsung, tidak melalui DPRD," ujar politikus PDI-P Guntur Romli, Senin (29/12/2025). Baginya, pilkada tidak langsung adalah tanda kemunduran demokrasi menuju era Orde Baru.
Guntur menjelaskan, efisiensi tidak bisa dijadikan dalih untuk mengambil hak politik rakyat. Menurut dia, kalaupun pemerintah ingin melakukan efisiensi, seharusnya memotong fasilitas elite-elite pemerintah.
"Efisiensi tidak bisa dijadikan dalih untuk mengambil hak politik rakyat. Kabinet saat ini juga gemuk tidak ada efisiensi. Harusnya efisiensi dimulai dari pemotongan fasilitas dan biaya elite-elite pemerintahan, bukan dengan mengkebiri hak politik rakyat," jelasnya. ***
