![]() |
| Ilustrasi perayaan saat pergantian tahun masehi |
Menjelang pergantian tahun baru Masehi, pertanyaan tentang boleh atau tidaknya umat Islam ikut merayakannya kembali menjadi perhatian banyak pihak. Di tengah beragam tradisi yang berkembang di masyarakat, para ulama memberikan pandangan yang beragam dalam menyikapi perayaan ini.
Ada yang membolehkannya dengan syarat tertentu, namun ada pula yang menilai sebaiknya ditinggalkan. Perbedaan pandangan tersebut didasarkan pada pertimbangan akidah, praktik sosial, serta dampak yang ditimbulkan dari perayaan tahun baru Masehi bagi kehidupan seorang Muslim.
Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai boleh atau tidaknya seorang Muslim merayakan Tahun Baru Masehi, berdasarkan informasi yang telah dirangkum dari berbagai sumber.
Bolehkah umat Islam merayakan Tahun Baru Masehi?
Para ulama sepakat bahwa merayakan tahun baru Masehi menjadi perkara yang jelas keharamannya apabila diisi dengan perbuatan maksiat, seperti mengonsumsi khamr, perzinaan, memakan makanan haram, serta berbagai aktivitas lain yang dilarang dalam Islam.
Namun, ketika perayaan tersebut diisi dengan kegiatan yang bersifat positif misalnya berkumpul bersama keluarga, menjalin silaturahmi, atau aktivitas sosial yang baik terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil khusus yang secara eksplisit membahas hukum perayaan tahun baru Masehi.
Pendapat ulama yang Setuju
Pendapat yang membolehkan umat Islam merayakan tahun baru Masehi didasarkan pada realitas sosial yang berkembang di tengah masyarakat, khususnya di Indonesia.
Dalam praktiknya, malam tahun baru tidak dipahami sebagai ritual keagamaan, melainkan sebatas tradisi sosial dan adat kebiasaan. Oleh karena itu, selama perayaan tersebut tidak mengandung unsur kemaksiatan, sebagian ulama memandang hukumnya sebagai boleh.
Pandangan ini sejalan dengan fatwa Prof. Dr. Shawqi Ibrahim Allam, Mufti Besar Mesir, yang menyatakan bahwa perayaan tahun baru Masehi diperbolehkan selama tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariat Islam. Ia menyampaikan:
الاحتفال ببداية السنة الميلادية المؤرخ بيوم ميلاد سيدنا عيسى ابن مريم عليهما السلام بما يتضمنه من مظاهر الاحتفال والفرح جائزٌ شرعًا، ولا حرمة فيه؛ فهو من جملة التذكير بأيام الله، وصار مناسبة اجتماعية ومشاركة وطنية، وما دامَ أنَّ ذلك لا يُلزِم المسلمين بطقوسٍ دينيةٍ أو ممارسات تخالف عقائد الإسلام أو يشتمل على شيء محرم فليس هناك ما يمنعه من جهة الشرع
“Perayaan awal tahun Masehi yang ditandai dengan hari kelahiran Nabi Isa putra Maryam ‘alaihimas-salam, beserta berbagai bentuk kegembiraan dan ekspresi perayaannya, hukumnya boleh secara syar‘i dan tidak ada keharaman di dalamnya. Sebab ia termasuk bagian dari upaya mengingat hari-hari besar ciptaan Allah, dan telah menjadi momentum sosial serta bentuk partisipasi kebangsaan. Selama hal tersebut tidak mewajibkan kaum Muslimin untuk melakukan ritual keagamaan tertentu atau praktik yang bertentangan dengan akidah Islam, serta tidak mengandung unsur yang diharamkan, maka tidak ada larangan syariat terhadapnya.”
Pendapat ulama yang melarang
Di sisi lain, terdapat pula ulama yang melarang umat Islam merayakan tahun baru Masehi. Setidaknya, pandangan ini didasarkan pada tiga alasan utama, yaitu karena perayaan tersebut dianggap sebagai bagian dari ibadah kaum kafir, menyerupai kebiasaan mereka, serta identik dengan berbagai bentuk kemaksiatan.
1. Berasal dari ibadah kaum kafir
Seorang Muslim tidak diperkenankan mengikuti ritual keagamaan agama lain, termasuk perayaan malam tahun baru. Secara historis, perayaan tahun baru Masehi berakar dari tradisi kaum pagan.
Pada tahun 46 sebelum Masehi, Julius Caesar menetapkan tanggal 1 Januari sebagai hari raya untuk menghormati dewa Janus. Pada masa itu, masyarakat Romawi merayakannya dengan pesta serta permohonan perlindungan kepada para dewa untuk menghadapi tahun yang baru.
2. Menyerupai kebiasaan orang kafir (Tasyabbuh)
Aktivitas yang lazim dilakukan saat malam tahun baru, seperti menyalakan api unggun atau meniup terompet, juga berasal dari tradisi kaum kafir. Meskipun pada dasarnya perbuatan tersebut bersifat mubah, namun karena dilakukan bertepatan dengan perayaan yang menjadi ciri khas kaum non-Muslim, maka dinilai mengandung unsur tasyabbuh yang seharusnya dihindari.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)
3. Identik dengan perbuatan maksiat
Perayaan malam tahun baru pada praktiknya sering kali identik dengan berbagai perbuatan maksiat. Tidak sedikit generasi muda yang menghabiskan malam tersebut dengan aktivitas negatif, seperti mengonsumsi minuman keras dan pergaulan bebas hingga perzinaan.
Meskipun ada sebagian Muslim yang merayakannya tanpa terlibat maksiat, namun tetap terdapat unsur menyerupai perilaku orang-orang fasiq. Oleh karena itu, sebagai langkah pencegahan, sebagian ulama memandang perayaan tahun baru Masehi sebaiknya ditinggalkan.
Sikap seorang Muslim
Merayakan Tahun Baru Masehi bagi umat Islam hukumnya tidak mutlak satu, karena bergantung pada bentuk dan isi perayaannya.Jika diisi dengan kemaksiatan maka haram, sedangkan jika sebatas kegiatan positif yang tidak melanggar syariat terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, sehingga sikap paling aman adalah mengisinya dengan muhasabah dan ibadah.
Bagi seorang Muslim, sikap yang lebih utama adalah memanfaatkan malam pergantian tahun untuk melakukan muhasabah, mengevaluasi perjalanan hidup selama satu tahun terakhir, serta memperbarui niat dan tekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Tahun baru dapat diawali dengan memperbanyak zikir, doa, dan memohon kepada Allah agar senantiasa diberikan bimbingan serta keberkahan dalam menjalani hari-hari ke depan.***
