Namun beberapa hari kemudian, Pertamina berubah sikap. Lembaga itu mengatakan bahwa Pertamax yang dijual Pertamina sudah sesuai standar.
Pernyatan ini langsung disampaikan Jaksa Agung, ST Burhanuddin saat konferensi pers di kawasan Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (6/3/2025).
Tentu saja pernyataan ini mengundang keheranan banyak pihak karena Jaksa Agung terlihat begitu mudahnya berubah-ubah. Padahal sebelumnya Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar tegas menyatakan penyidik menemukan adanya upaya pengoplosan research octane number (RON) untuk memproduksi BBM jenis Pertamax. Pengoplosan itu membuat kualitas Pertamax yang dijual ke masyarakat tidak sesuai standar.
“Fakta yang ada dari transaksi RON 88 di-blending dengan (RON) 92 dan dipasarkan seharga (RON) 92,” kata Abdul Qohar, kepada wartawan di depan gedung Kartika, pada Rabu, 26 Februari 2025.
Hal yang jelas, kata dia, fakta-fakta penyidikan yang mengarah kepada dugaan pengoplosan merupakan hasil dari keterangan saksi dan barang bukti. Temuan awal Kejaksaan Agung itu justru bermula dari penelitian di lapangan.
Hal ini yang membuat masyarakat mulai heboh karena mereka sudah tertipu oleh Pertamina selama ini. Tidak disangka Pertamax yang harusnya memiliki RON 92, ternyata dioplos dari Pertalite yang memiliki RON 90. Secara teknis, tidak mungkin RON itu bisa dinaikkan walau dicampur dengan zat lainnya.
Konsumen pun ramai-ramai memboikot Pertamina. Banyak yang beralih membeli BBM dari SPBU milik luar negeri, seperti Shell. Mereka pasti yakin, kualitas BBM yang dijual Shell jauh lebih baik ketimbang Pertamina yang jelas-jelas menipu rakyat.
Pertamina kelimpungan, apalagi sempat mencuat kabar kalau sejumlah lembaga masyarakat akan melakukan gugatan class action. Alasannya adalah penipuan yang dilakukan Pertamina selama bertahun-tahun ini. Yang mengejutkan lagi, bahwa praktik pengoplosan itu ternyata sudah berlangsung sejak 2018.
Ini yang membuat petinggi Pertamina mulai gundah. Lobi pun dilakukan di sana sini, termasuk bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto. Setelah bertemu presiden, selanjutnya petinggi Pertamina melakukan pertemuan dengan Kejaksaan Agung. Hasilnya?
Akhirnya Kejaksaan Agung resmi mengumumkan bahwa pertamax yang djual Pertamina sudah sesuai ketentuan yang berlaku. Aha..!
Tentu saja ini sebuah dagelan yang pantas ditertawakan. Betapa tidak, setelah lobi di sana sini, akhirnya sikap Kejaksaan Agung berubah total.
Mega Korupsi yang terungkap di Pertamina ini merupakan kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Sejak pengoplosan itu berlangsung pada 2018, diperkirakan kerugian negara mencapai Rp1000 triliun. Yang menanggung kerugian adalah rakyat selaku konsumen, sebab efek dari korupsi itu adalah menurunkan kualitas Pertamax dari yang seharusnya RON 92 menjadi RON 90.
Para petinggi Pertamina untung besar. Keuntungan hingga Rp 1000 triliun. Sebuah angka yang sulit dibayangkan.
Sudah Sembilan orang tersangka dalam kasus itu. Namun banyak yang yakin kalau ada sejumlah pejabat tinggi lain yang mendapat limpahan cuan dari korupsi itu. Bukan tidak mungkin hasil korupsi itu juga digunakan sebagai modal politik saat kampanye yang lalu.
Belakangan mencuat kabar kalau Menteri BUMN Etick Thohir dan kakaknya Boy Thohir juga disebut-sebut terlibat dalam kasus itu.
Namun dengan perubahan sikap Kejaksaan Agung beberapa hari belakangan ini, nampaknya kasus korupsi ini akan dibatasi hanya sampai di tingkat sembilan tersangka yang sudah ditahan saat ini.
Masyarakat mungkin hanya bisa menyaksikan drama tertangkapnya sejumlah petinggi Pertamina, tapi tidak akan bisa membongkar siapa dalang utama di balik permainan gila ini.
Sudah menjadi tradisi di negeri ini, sebuah hukum bisa diubah. Permainan hukum bisa diatur. Selagi dalang utama itu masih menjadi bagian penting dalam sistem kekuasaan, bisa dipastikan ia akan terus mendapat perlindungan. Kecuali tiba-tiba ia berkhianat, pasti kasus itu akan dibongkar.
Ini yang terjadi pada Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan RI yang pada Pemilu Presiden 2024 memutuskan berada di kubu Anies Baswedan. Pasca Pemilu, kesalahan Tom terus dicari-cari sehingga didapatkan kasus impor gula yang dituding merugikan negara.
Padahal kebijakan impor gula tidak hanya terjadi di masa Tom Lembong, tapi juga dilakukan di masa Menteri perdagangan sebelumnya.
Tapi Tom terlanjur berani menunjukkan bahwa ia memiliki sikap berbeda dalam hal politik dibanding penguasa, sehingga berbagai kesalahannya mulai di cari di sana sini. Sampai akhirnya Tom diseret dalam kasus korupsi. ***