19 Tokoh Islam Sumut Diundang ke China, Mereka Difasilitasi Agar Memuji Kehidupan Umat Islam di Sana

Sebarkan:

Inilah kelompok orang yang diundang Pemerintah China untuk memuji perlakuan terhadap umat Islam di sana. Asal bayaran jelas, pujian pun langsung diberikan
Tanpa banyak yang tahu, ternyata ada sebanyak 19 tokoh agama dan akademisi dari Sumatera Utara diundang untuk melakukan kunjungan ke Tiongkok pada 29 Mei hingga 5 Juni 2025. Undangan itu dari Konsulat Jenderal Tiongkok di Medan.

Delegasi ini berkunjung ke berbagai kota, termasuk Beijing, Zhengzhou, dan Urumqi di Daerah Otonom Xinjiang — wilayah yang selama ini menjadi sorotan dunia terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Muslim-Uighur.

Kunjungan itu merupakan bentuk diplomasi budaya dan pertukaran antara Indonesia dan Tiongkok. Konsul Jenderal Zhang Min menyebut,  kegiatan ini bertujuan mempererat hubungan persahabatan dan membangun pemahaman objektif tentang Tiongkok, khususnya kehidupan umat Islam di Xinjiang.

Kunjungan serupa juga sebelumnya pernah dilakukan sejumlah tokoh agama dan organisasi Islam di Indonesia, termasuk Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mereka diundang untuk menyaksikan langsung perkembangan umat Islam di Xinjiang.

Dalam setiap kesempatan, pemerintah Tiongkok menampilkan narasi harmoni sosial dan pembangunan ekonomi di wilayah tersebut, dengan harapan bisa memperbaiki citra mereka di mata dunia, khususnya di negara-negara Islam. Makanya mereka rela mengeluarkan dana besar untuk mengundang sejumlah tokoh Islam guna menyaksikan kondisi yang terjadi di negara itu.  Harapannnya, agar pihak yang diundang mau memuji-muji kerukunan agama di China, terutama perlakuan Pemerintah China terhadap warga muslim di negara itu.

Sebelumnya China sempat mendapat sorotan dunia karena memperlakukan umat Muslim di negara itu secara kejam. Banyak pemuda muslim, khususnya di wilayah Xinjiang yang ditangkap dan disiksa.  Mereka dilarang beribadah atau melakukan ritual agama sesuai syariat.

Yang menyejutkan, laporan Uni Eropa menyebutkan bahwa warga muslim di Xinjiang yang meninggal dianjurkan untuk dikremasi, Tidak boleh dikubur karena lahan di sana sangat terbatas.

Banyak yang memprotes perlakuan kejam pemerintah China ini. Berkali-kali Uni Eropa dan PBB menyampaikan protes, tapi Pemerintah China seakan tidak mau tahu. Sebagai propaganda yang mereka lakukan, adalah memfasilitasi para tokoh Islam dunia untuk datang ke sana.

Tentunya Pemerintah China sudah menyiapkan segala sesuatunya sehingga para tokoh  yang diundang akan memuji-muji perlakuan Pemerintah China terhadap warga Muslim. Berbagai scenario sudah mereka siapkan dari awal sehingga kekejaman mereka terhadap umat muslim di sana tidak sampai terlihat. yang mereka tampakkan adalah betapa harmoninya perlakuan Pemerintah China terhadap umat muslim di negara itu.

Tak heran jika para tokoh yang diundang akan memberikan pujian karena mereka mendapat fasilitas serba mewah dari Pemerintah China.

Testimoni Peserta

Rombongan dari Sumatera Utara terdiri dari pimpinan universitas, ulama, dan perwakilan organisasi keagamaan. Dalam pernyataan resminya, Prof. Dr. Nurhayati, Rektor UIN Sumatera Utara, salah satu yang ikut dalam rombongan itu  menyampaikan bahwa tim yang diundang telah menyaksikan langsung kerukunan antar-etnis, keterbukaan keagamaan, serta jejak sejarah panjang Islam di Tiongkok. 

Mereka juga mendapat fasilitas mengunjungi masjid, museum Islam, serta berdialog dengan pejabat daerah di Xinjiang.

“Kami melihat Islam tumbuh dalam koridor moderasi dan nasionalisme. Di Xinjiang, kami menemui masyarakat Muslim yang sangat cinta negaranya,” ujar Prof. Nurhayati dalam laporan pasca kunjungan.

Memang tidak semua tokoh yang diundang bersikap positif terhadap kebijakan Partai Komunss Tiongkok (PKT) di Xinjiang, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi yang dihadapi minoritas Muslim Uighur.

“Penindasan ini melukai nilai-nilai kemanusiaan dan agama. Hak beribadah adalah hak asasi paling mendasar yang tidak boleh diganggu,” kata Amirsyah.

Ia mendesak agar PBB bersikap tegas terhadap pemerintah Tiongkok dan tidak menerapkan standar ganda dalam membela hak minoritas Muslim. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan keberatan secara santun namun tegas.

Kejahatan Kemanusiaan 

Para aktivis dan organisasi hak asasi manusia mengingatkan bahwa tampilan luar yang disiapkan oleh pemerintah Tiongkok kepada delegasi asing belum tentu mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa kondisi di Xinjiang adalah pelanggaran HAM yang nyata dan mendalam. 

Dalam diskusi publik di Jakarta, Usman merujuk laporan Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB yang mengungkap lebih dari satu juta Muslim Uighur dan kelompok etnis Muslim lainnya ditahan secara sewenang-wenang di kamp-kamp “pendidikan ulang”.

“Kebanyakan ditahan tanpa bukti kuat. Sampai hari ini, banyak keluarga yang tidak tahu keberadaan kerabat mereka. Ini bentuk penahanan tanpa proses hukum yang jelas,” ujar Usman.

Menurutnya, praktik-praktik ini dibungkus dengan dalih melawan ekstremisme, tetapi justru berdampak pada pembungkaman ekspresi keagamaan yang sah. Larangan berjilbab, berpuasa, dan memelihara jenggot adalah contoh nyata kebijakan diskriminatif yang diterapkan di Xinjiang.

Usman menyebut bahwa Amnesty telah menyurati Kementerian Luar Negeri Indonesia agar mendesak pemerintah Tiongkok menghentikan pelanggaran ini dan membuka akses informasi bagi komunitas internasional.

Agung Nurwijoyo, dosen Hubungan Internasional di Universitas Indonesia, menyoroti dilema diplomatik yang dihadapi Indonesia. Menurutnya, isu Xinjiang tidak hanya menyangkut HAM, tetapi juga arena geopolitik dan perebutan pengaruh global.

“Negara-negara besar seperti Amerika dan Inggris bereaksi keras. Tapi negara-negara Muslim justru cenderung diam,” ujar Agung.

Ia menjelaskan bahwa Indonesia perlu berhati-hati dalam menanggapi isu ini agar tidak merusak hubungan strategis dengan Tiongkok. Namun di sisi lain, sebagai negara demokratis dan mayoritas Muslim, Indonesia diharapkan mengambil peran lebih aktif dalam mendesak keterbukaan informasi dan penghormatan HAM di Xinjiang.

“Indonesia bisa menjadi jembatan: tetap menjalin hubungan baik, tapi juga menyuarakan kepedulian atas pelanggaran HAM. Kita harus menegaskan bahwa membela kemanusiaan bukan berarti memusuhi mitra dagang,” tambah Agung.

Strategi Propaganda

Kunjungan para tokoh agama dan akademisi Sumatera Utara ini merupakan propaganda China untuk menghadirkan narasi positif tentang kehidupan Muslim di Xinjiang. Namun banyak pihak mempertanyakan, apakah testimoni ini benar-benar mencerminkan realitas atau hanya bagian dari strategi diplomatik PKT untuk meredam sorotan global?

Pengamat menilai kampanye “Islam Bahagia di Xinjiang” yang dipromosikan melalui delegasi bayaran  merupakan bagian dari upaya soft power Tiongkok untuk mengontrol narasi internasional — terutama di negara-negara berpenduduk Muslim besar seperti Indonesia.baik

Kunjungan delegasi Islam Sumut ke Tiongkok membuka ruang refleksi bagi publik Indonesia, apakah kita sebagai bangsa harus menerima mentah-mentah narasi resmi dari negara yang dituding melakukan pelanggaran HAM berat? 

Ataukah kita mampu memadukan hubungan baik dengan sikap kritis dan berani menyuarakan kebenaran?

Sebagaimana dikatakan Usman Hamid, “membela umat tertindas tidak harus dengan marah-marah, tapi harus dengan kejelasan sikap dan keberpihakan pada nilai-nilai universal: hak hidup, hak beribadah, dan hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang. (adilnews)

 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini