![]() |
| Salah satu gambaran dari citra satelit yang menunjukkan tingkat kerusakan hutan di wilayah Sumatera Utara |
Factor cuaca ekstrim bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya bencana yang cukup hebat di wilayah Sumatera sejak 24 November lalu. Wahana Lingungan Hidup (Walhi) – sebuah Lembaga yang peduli pada pelestarian lingkungan – meyakini kalau dampak bencana itu sangat besar akibat factor penggundulan hutan yang tidak terkendali. Rekam citra satelit 2016 hingga 2025 menunjukkan betapa masifnya pembukaan lahan di Sumatra Utara.
Walhi mencatat, dalam 10 tahun terakhir, 2 ribu hektare hutan di Sumut rusak. Hal itulah yang diduga menjadi penyebab banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah, bukan semata-mata akibat cuaca ekstrem.
"Perusakan hutan di sana itu disebabkan ya, dipicu ya, oleh beberapa perusahaan. Jadi kita menyangkal pernyataan dari Gubernur Sumatera Utara bahwa banjir tersebut karena cuaca ekstrem. Tapi pemicu utamanya bukan cuaca ekstrem ini, pemicu utamanya adalah kerusakan hutan dan alih fungsi lahan dari hutan menjadi non-hutan," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumut Rianda Purba dalam konferensi pers, Senin (1/12).
Pernyataan serupa juga disampaikan Lembaga Bantuan Hukum dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Regional Barat yang menyatakan bencana longsor dan banjir tak lepas dari dampak krisis iklim yang berkaitan dengan aktivitas deforestasi dan masifnya pemberian izin-izin konsesi pada perusahaan pertambangan dan perkebunan di wilayah Sumatera.
"Hal demikian menunjukkan gagalnya Pemerintah dalam tata kelola kawasan hutan yang semrawut dengan memberikan atau setidaknya mempermudah izin-izin usaha perkebunan, pertambangan dan juga maraknya alih fungsi lahan demi proyek PLTA yang tersebar di berbagai titik di wilayah Sumatera," kata LBH.
LBH mencatat dalam rentang waktu 2020-2024, di Sumatera Barat saja sudah terdapat ratusan ribu hektare hutan yang dirusak.
Sebelumnya Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution sempat menyebutkan bahwa bencana yang melanda Tapanuli Tengah, Sibolga dan Tapanuli Selatan disebabkan factor cuaca ektrim yang di luar kendali. Ia malah tidak melihat ada masalah kerusakan di sana.
Hal ini yang membuat Walhi dan para pegiat lingkungan sangat kecewa dengan pernyataan itu. Bobby dianggap tidak sensitif dan kurang punya pengetahuan tentang lingkungan. Sebab data Walhi menyebutkan, factor kerusakan lingkungan justru menjadi penyebab tingginya angka kerusakan dari bencana itu.
Kalau saja hutan tetap lestari, dampak bencana itu pasti lebih kecil karena hutan lestari mampu memperkuat struktur tanah sehingga mencegah terjadinya longsor. Oleh karena itu, meski kondisi cuaca buruk, tapi lingkungan yang hijau bisa mengatasi dampak buruk dari cuaca itu.
Adapun dampak buruk dari bencana yang terjadi di Sumut beberapa waktu lalu tidak lepas dari kerusakan hutan itu. Hal itu terbukti dari banyaknya kayu gelondongan yang terseret banjir hingga memenuhi pemukiman warga.
Walhi mencatat setidaknya ada tujuh perusahaan pengelola hutan yang terlibat merusak hutan Sumatera Utara. Mereka adalah PT Agincourt Resources (tambang emas Martabe), PT NSHE (PLTA Batang Toru), PT Pahae Julu Micro-Hydro Power, PT SOL Geothermal Indonesia, PT Toba Pulp Lestari, PT Sago Nauli Plantation, dan PTPN III Batang Toru Estate.
"Semua beroperasi di atau sekitar Batang Toru, habitat orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, dan satwa dilindungi lain," jelas Rianda.
Rianda memerinci, kerusakan yang ditimbulkan meliputi hilangnya ratusan hektare tutupan hutan, sedimentasi sungai, fluktuasi debit air, degradasi koridor satwa, hingga alih fungsi lahan menjadi perkebunan eukaliptus dan sawit. Aktivitas industri ini memicu banjir bandang dan longsor, menurut Walhi.
“Banjir dan longsor bukan semata akibat hujan. Citra satelit menunjukkan hutan gundul di lokasi terdampak. Ini bencana ekologis akibat campur tangan manusia,” tegasnya.
Walhi, kata Rianda, menuntut pemerintah menghentikan aktivitas industri di Batang Toru, menindak pelaku perusakan, menetapkan kebijakan perlindungan ekosistem, dan memastikan kebutuhan dasar penyintas. Khusus PT Agincourt Resources, Walhi mencatat perusahaan membuka sekitar 120 hektare lahan baru, berpotensi merusak sungai dan habitat satwa.
“Semoga para penyintas diberi kekuatan. Negara harus bertindak dan menghukum pelanggar agar bencana ini tidak terulang,” tutup Rianda.
Sampai Selasa pagi 2 Desember 2025, bencana banjir bandang dan longsor menimpa sejumlah daerah di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh telah menelan korban tewas 604 orang. Paling banyak di Sumut dengan 283 jiwa meninggal dunia, Sumbar 165 jiwa, dan Aceh dengan 156 jiwa.***
