-->

Razia Plat BL: Arogansi Kekuasaan dan Kepalsuan Niat Bobby Nasution

Sebarkan:


Gubernur Bobby Nasution, arogansi yang bodoh

Gubernur Sumatera Utara tampaknya sedang memamerkan otot, bukan akal sehat. Razia dan larangan terhadap kendaraan berplat BL dari Aceh yang mengangkut komoditas perdagangan dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, tanpa koordinasi lintas daerah, dan tanpa perhitungan dampak jangka panjang. Apa urgensinya? Apa manfaat riilnya bagi rakyat? Jawabannya: nihil.

Kebijakan semacam ini hanya menghadirkan tontonan murahan tentang kekuasaan yang gagap memahami logika pasar dan hukum tata negara. Pemerintah provinsi seakan ingin menunjukkan ketegasan, padahal yang tampak justru kedangkalan analisis.

PAD dan Fatamorgana Korupsi

Dalih meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) sering dijadikan alasan klasik. Tapi mari jujur: berapa sebenarnya pemasukan kas daerah dari kebijakan serampangan ini? Nyaris tak signifikan. Bahkan, kerugian ekonomi lintas provinsi jauh lebih besar ketimbang potensi pemasukan dari pajak kendaraan bermotor atau retribusi.

Yang lebih mengkhawatirkan, publik masih segar mengingat operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap pejabat tinggi Pemprovsu beberapa waktu lalu. Bukankah itu mencerminkan betapa rapuh dan korupnya tata kelola penerimaan daerah? Bukankah justru di situ akar masalahnya—kebocoran anggaran, bukan kurangnya sumber pungutan? Maka, wajar jika publik sinis: razia plat BL hanyalah pengalihan isu, bukan solusi.

Rendahnya Kreativitas 

Masalah lebih dalam adalah rendahnya kreativitas daerah dalam menggali sumber keuangan. Alih-alih memutar otak mencari terobosan, banyak pemerintah daerah memilih jalan pintas: memungut, merazia, membatasi, bahkan memalak. Semua beban diarahkan kepada rakyat dan pelaku usaha.

Padahal, ada begitu banyak sumber pemasukan potensial yang tidak menimbulkan keresahan. Pariwisata bisa dikembangkan dengan serius, bukan sekadar jargon festival tahunan. Investasi hijau dan energi terbarukan bisa dibuka, bukan dipersulit dengan birokrasi. Sektor pertanian dan UMKM bisa dijadikan basis PAD melalui inovasi hilirisasi, bukan lewat pungutan liar di jalan raya. Tetapi, itu semua butuh kerja keras, daya cipta, dan kepemimpinan yang visioner—sesuatu yang tampaknya masih langka di daerah ini.

Kesalahan yang Berulang 

Ironisnya, Sumut bukan satu-satunya. Di beberapa provinsi lain, pola serupa terjadi. Pemerintah daerah kerap berlindung di balik jargon "optimalisasi PAD", lalu mengeluarkan aturan-aturan lokal yang sebenarnya melanggar prinsip perdagangan bebas antar-daerah sebagaimana dijamin UUD 1945 dan UU Otonomi Daerah.

Ada yang membatasi distribusi komoditas lintas provinsi, ada pula yang mempersulit perizinan transportasi, hingga memalak pelaku usaha dengan pungutan liar berkedok retribusi. Semua ini kesesatan logika fiskal: daerah merasa bisa kaya dengan memeras peredaran barang dan jasa, padahal ujung-ujungnya hanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi, konflik antar-daerah, dan mematikan iklim investasi.

Masalah Nasional, Bukan Lokal

Karena itu, razia plat BL di Sumut hanyalah satu episode dari drama nasional tentang "kebijakan bodoh yang diulang-ulang". Pemerintah daerah seakan lupa bahwa mereka bukan negara dalam negara. Indonesia adalah satu kesatuan ekonomi, dan arus barang antar-provinsi dilindungi konstitusi.

Di titik inilah Kementerian Dalam Negeri seharusnya turun tangan. Tak bisa lagi berpura-pura bahwa ini urusan kecil di daerah. Kemendagri mesti memberi arahan keras, bahkan teguran, agar kepala daerah tak semena-mena mengeluarkan kebijakan yang mengorbankan rakyat dan pelaku usaha hanya demi ilusi PAD. Jika tidak, potensi perpecahan ekonomi antar-daerah akan semakin nyata.

Razia plat BL bukan kebijakan, melainkan komedi politik. Ia mencerminkan bagaimana pejabat daerah masih terjebak dalam pola pikir rente, bukannya tata kelola ekonomi modern. Lebih menyedihkan lagi, ia memperlihatkan kemiskinan imajinasi fiskal: ketika pejabat tidak mampu melahirkan gagasan kreatif untuk memperkuat kas daerah tanpa membebani rakyat.

Dan bila dibiarkan, Sumut hanya akan menambah daftar provinsi yang gagal memahami esensi pembangunan: mensejahterakan rakyat, bukan memperkaya pejabat. ***

Shohibul Ansyori Siregar

Akademisi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini