![]() |
Tuan Rondahaim Saragih Garingging (1828-1891) resmi bergelar Pahlawan Nasional. |
Warisannya abadi di benak masyarakat tempatan, namun baru sekarang publik nasional lapat-lapat mengenal namanya. Penganugerahan Pahlawan Nasional, layak untuk disyukuri, mengingat perjuangan untuk membukakan jalan menuju gelar tersebut, membutuhkan usaha yang keras, panjang dan lama.
Penulis sendiri tergabung dalam tim penyusun biografi perjuangan tokoh ini bersama dengan Prof. Budi Agustono dari Universitas Sumatera Utara dan Almarhum Prof. Muhammad Dien Madjid dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekitar tahun 2020. Penelitian lapangan dilangsungkan dengan keterbatasan dan kesulitan tersendiri, meingat di Jakarta dan Sumatera Utara masih terdapat pembatasan skala massal.
Di tengah haru biru perayaan gelar pahlawan nasional, penulis melihat adanya ruang diskusi dari julukan yang disematkan orang Belanda kepada Tuan Rondahaim, yakni disebut Napoleon der Bataks, atau Napoleon dari Batak. Sebutan ini lahir dari kekaguman barisan Kompeni akan kepakaran dan kecakapan Raja Raya ini dalam memimpin pasukannya, utamanya dalam menyusun strategi pertahanan.
Namun, yang menjadi perhatian, adalah layakkah ia disebut sebagai Napoleon? sedang sosok ini mempunyai dedikasi dan kiprah yang secara historis berbeda dengan Napoleon Bonaparte sendiri.
Julukan "Napoleon der Bataks" ibarat sebuah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menggambarkan kebesaran dan ketangguhannya, namun di sisi lain, ia justru menjebaknya dalam sangkar narasi asing. Julukan ini, yang diberikan oleh penjajah Belanda, bukan sekadar pujian netral, melainkan sebuah konstruksi Eropasentris yang secara halus merampas kemampuannya untuk didefinisikan melalui kosakata dan konteks budayanya sendiri.
Analisis ini akan mengungkap bagaimana julukan tersebut mencerminkan bias kolonial dalam memahami "yang Lain". Pilihan kata "Napoleon" dengan sendirinya merupakan sebuah tindakan pemusatan Eropa (Eropasentrisme).
Dengan menyamakannya dengan Kaisar Prancis itu, pihak Eropa secara implisit menegaskan bahwa satu-satunya tolok ukur untuk memahami kebesaran seorang pemimpin haruslah merujuk pada tokoh dalam sejarah Eropa. Tuan Rondahaim tidak dibiarkan menjadi dirinya sendiri—seorang Raja Simalungun, atau seorang raja adat Batak dengan segala keunikan spiritual dan politiknya.
Ia harus "diterjemahkan" ke dalam sebuah idiom yang bisa dicerna oleh logika kolonial, seolah-olah tidak ada kosakata heroik dalam tradisi Simalungun yang cukup mulia untuk menggambarkannya. Ini adalah penjajahan epistemologis, di mana bahkan imajinasi tentang kepahlawanan pun harus disandera oleh referensi Eropa.
Selanjutnya, penambahan frasa "der Bataks" justru semakin mengukuhkan pandangan yang meminggirkan (marginalizing). Frasa dalam bahasa Jerman/Belanda ini tidak hanya eksotis, tetapi juga bersifat membakukan dan mereduksi.
Ia menciptakan jarak antara si pemberi julukan (kolonialis yang "beradab") dengan subjek yang dijuluki (pribumi yang "liar" dan "eksotis"). Tuan Rondahaim tidak lagi dilihat sebagai individu yang kompleks, melainkan sebagai representasi dari seluruh etnis Batak yang dihomogenisasi.
Julukan itu berbunyi: "Inilah Napoleon-nya orang-orang Batak," sebuah pernyataan yang bersifat etnosentris dan merendahkan, seakan-akan setiap kelompok etnis layak mendapatkan "Napoleon" versi mini mereka sendiri sebagai bentuk pengakuan.
Konsekuensi paling berbahaya dari pemberian julukan ini adalah terampasnya agensi dan narasi lokal. Sejarah perlawanan dan kepemimpinan Tuan Rondahaim menjadi terkontaminasi oleh metafora asing yang tidak sepenuhnya merepresentasikan konteks perjuangannya.
Perjuangan Napoleon adalah untuk membangun imperium Eropa, sementara perjuangan Tuan Rondahaim sangat mungkin bertujuan mempertahankan kedaulatan, adat, dan tanah leluhur. Dengan mengabadikan julukan ini, kita secara tidak sadar terus memandang sejarah Indonesia melalui kacamata kolonial.
Kita merayakan "Napoleon"-nya, tetapi mungkin mengabaikan nilai-nilai hamajuon (kemajuan), kearifan lokal, dan keteguhan prinsip yang justru menjadi jiwa sejati dari perlawanannya.
Membuka Peluang Julukan "Napoleon der Bataks" untuk Tuan Rondahaim Saragih merupakan contoh nyata bagaimana sejarah Nusantara sering kali dibingkai melalui lensa kolonial. Pemberian julukan semacam ini, meski terkesan menghormati, sesungguhnya adalah bentuk pelemahan narasi karena memaksa kita memahami pahlawan lokal dengan kacamata Eropa.
Sejarah Indonesia justru kaya akan contoh pemberian julukan yang powerful dan puitis yang lahir dari konteks lokal, seperti "Ayam Jantan dari Timur" untuk Sultan Hasanuddin atau "Si Merak" untuk WS Rendra.
Julukan-julukan ini tidak hanya mudah diingat, tetapi juga menyimpan nilai filosofis dan kultural yang dalam, yang langsung dapat dipahami oleh masyarakat Indonesia tanpa perlu referensi asing.
Dalam konteks inilah, mendesak untuk menciptakan julukan alternatif bagi Tuan Rondahaim yang berakar pada semangat dan geografi perjuangannya. Daripada "Napoleon" yang merujuk pada penaklukan Eropa, kita dapat mencari metafora dari lanskap dan nilai-nilai lokal Sumatra Utara.
Julukan seperti "Harimau dari Raya" atau "Singa Danau Toba" misalnya, akan langsung membangkitkan imaji kekuatan, kewibawaan, dan koneksi geografis yang otentik. Metafora alam ini tidak hanya lebih mudah dicerna oleh publik Indonesia, tetapi juga menghormati konteks historis dan kultural tempat sang pahlawan berjuang, tanpa perlu melalui "penerjemahan" budaya Eropa.
Mengganti "Napoleon der Bataks" dengan julukan yang bernapaskan lokal bukan sekadar masalah mengganti kata. Ini adalah langkah penting dalam dekolonisasi sejarah Indonesia—sebuah upaya untuk mengambil kembali hak kita dalam mendefinisikan dan menghormati pahlawan kita sendiri dengan cara kita sendiri.
Seperti "Ayam Jantan dari Timur" yang mampu menggambarkan kegigihan Hasanuddin tanpa perlu menyebut "The Rooster of the East", kita pun bisa menemukan julukan yang sama kuatnya untuk Tuan Rondahaim. Dengan demikian, kita tidak hanya mengembalikan kehormatan sang pahlawan pada konteksnya yang sebenarnya, tetapi juga memperkaya khazanah nasional dengan narasi kepahlawanan yang otentik dan membumi.
Bahasa kita masih kaya, masih membutuhkan penggalian yang dalam, oleh sebab sering dilupakan oleh kita sendiri.(***)
Oleh: Dr. Johan Wahyudhi, M. Hum – Dosen Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
%20resmi%20bergelar%20Pahlawan%20Nasional..jpg)