-->

Inilah Indonesia: Diktator Diberi gelar Pahlawan Nasional, si Raja Dusta Dianggap Orang Baik!

Sebarkan:

 

Protes atas anugerah Pahlawan Nasional untuk diktator Ordebaru Soeharto
Presiden Prabowo baru saja memberi penghargaan sebagai pahlawan Nasional bagi 10 tokoh di Indonesia. Satu satunya yang mengundang perdebatan  dari penghargaan itu adalah gelar pahlawan yang diberikan kepada Soeharto, penguasa orde baru. Padahal semua orang tahu, Soeharto adalah dictator yang banyak menghancurkan kehidupan demokrasi di negeri ini.

Tak heran jika pakar hukum menyebut keputusan tersebut sebuah "penghinaan akal sehat" dan menyamakannya dengan hal mustahil. Langkah ini dinilai ironis, ibarat menyandingkan figur diktator dengan simbol korban dari rezimnya. Karuan, keputusan Prabowo menganugerahkan gelar pahlawan kepada Soeharto it uterus memicu gelombang kritik tajam dari berbagai kalangan.

Kontroversi ini semakin memanas karena penetapan tersebut diumumkan bersamaan dengan pemberian gelar serupa kepada Marsinah, seorang aktivis buruh yang menjadi simbol perlawanan hak asasi manusia di era Orde Baru.

Akademisi dari Universitas Trisakti, Bhatara Ibnu Reza, menjadi salah satu suara yang paling vokal, menyebut keputusan tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap akal sehat publik. Menurutnya, penganugerahan gelar pahlawan kepada arsitek rezim Orde Baru itu tidak dapat diterima, baik secara moral maupun historis.

"Soeharto dianggap sebagai pahlawan itu keterlaluan, ini benar-benar keterlaluan. Tidak ada di lain yang menganggap diktator itu sebagai pahlawan," ujarnya kepada wartawan di Jakarta.

Bhatara menegaskan bahwa diskursus global justru menunjukkan adanya upaya negara-negara untuk mengambil jarak dari figur-figur diktator masa lalu mereka, bukan malah mengagungkannya.

"Hitler aja tidak dianggap pahlawan oleh Jerman. Atau misalnya Marcos (Ferdinand Marcos, mantan Presiden Filipina) tidak dianggap sebagai pahlawan, dia dikenang sebagai presiden tetapi bukan sebagai pahlawan," lanjutnya.

Sorotan utama dari kritik Bhatara tertuju pada penyandingan nama Soeharto dengan Marsinah. Ia menilai tindakan ini bukan hanya ironis, tetapi juga secara fundamental melukai ingatan kolektif bangsa terhadap sejarah kelam pelanggaran HAM.

“Nama Soeharto disamakan dengan Marsinah, itu penghinaan terhadap akal sehat,” kata Bhatara. “Bagaimana mungkin sosok Marsinah, pejuang buruh yang dibunuh di masa rezim Soeharto disandingkan dengan Soeharto? Ibaratnya menyandingkan Adolf Hitler dengan Anne Frank, korban kekejaman Nazi,” tegasnya.

Penetapan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto dan Marsinah diumumkan secara resmi oleh Presiden Prabowo Subianto dalam upacara peringatan Hari Pahlawan di Istana Negara pada Senin (10/11/2025) pagi.

Keputusan ini sontak membuka kembali perdebatan fundamental di ruang publik mengenai definisi 'kepahlawanan' dalam konteks sejarah Indonesia yang kompleks.

Presiden Prabowo Subianto menyerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto, yang diterima oleh putri sulungnya Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto selaku ahli waris, di Istana Negara,  10/11/2025.
Julukan Pahlawan Nasional kepada Soeharto identic dengan pemberian julukan sebagai orang baik kepada Joko Widodo. Padahal jelas-jelas, presiden Indonesia ke-7 itu dijuluki sebagai raja dusta. Ia kerap menebar kebohongan di sana sini. Kepemimpinannya menghancurkan negeri hancur karena banyak melakuka pembororan.

Beruntungnya, Joko Widodo tidak dikategorikan sebagai pahlawan. Tapi julukan sebagai ‘orang baik’ kepada Jokowi juga merupakan pembunuhan terhadap akal sehat. Peran para buzzer bayaran sangat kental dalam menebarkan julukan itu ke berbagai arah.

Baik Soeharto maupun Jokowi sama-sama memang cukup banyak menghadirkan perbaikan di negeri ini. Tapi keburukan mereka juga tidak kalah banyaknya. Harusnya kebusukan itu jadi pertimbangan untuk menilai kepemimpinan mereka. Tidak selayaknya Soeharto mendapat gelar sebagai pahlawan nasional.

Begitu juga Jokowi, tidak pantas diakui sebagai orang baik. Ia adalah si raja dusta.  Salah satu koruptor terbesar menurut kacamata Lembaga internasional OCCRP.

Tapi beginilah Indonesia. Yang buruk tetap bisa jadi pahlawan asal didukung permainan buzzer dan jalinan kerja penguasa. Kalau tidak mana mungkin sosok seperti Gibran bisa jadi Wapres…!***

 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini