-->

Bobby Nasution, Sosok Gubernur yang Tidak Tanggap Bencana, Ini Buktinya!

Sebarkan:

Gubernur Bobby Nasution berada di lokasi bencana empat hari setelah banjir dan longsor. Justru tim Jakarta lebih dulu turun ke lokasi
Sejak awal 2025 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebenarnya sudah memberi peringatan soal kemungkinana cuaca ekstrim yang melanda Sumatera Utara di penghujung tahun. Tapi peringatan itu dianggap sepele oleh Gubernur Bobby Nasution. Dengan entengnya ia menggeser anggaran penanganan bencana yang sudah ditetapkan, dari Rp843,1 miliar menjadi Rp98,3 miliar.

Anggaran itu menciut hingga 88 persen karena Bobby menganggap ancaman bencana di Sumut hanya masalah kecil. Kalau ia paham akan dampak  bencana itu, pasti sejak awal ia tidak akan memperkecil anggaran tersebut. Kebijakan ini menunjukkan betapa Bobby sama sekali tidak peka terhadap situasi lingkungan.

Begitu menjabat sejak Februari 2025, Ia lantas menggeser anggaran penanganan bencana itu ke proyek konstruksi, seperti pembangunan jalan dan jembatan. Langkah ini ia lakukan, bisa jadi karena proyek konstruksi lebih berpeluang memberikan fee yang mempertebal kantong pribadi. Sudah menjadi rahasia umum, fee dari proyek konstruksi itu besarnya bisa mencapai 20 persen dari nilai proyek.

Hal itu terbukti dengan terungkapnya kasus korupsi dproyek jalan senilai Rp381 miliar yang dianggarkan Bobby di wilayah Tapanuli Selatan pada 2025. Kasus itu sampai menyeret pejabat kepercayaannya, Topan Ginting, mantan Kepala Dinas PUPR Sumut sebagai tersangka.

Seharusnya Bobby juga layak diperiksa dalam kasus ini. Tapi beruntung ia masih dilindungi KPK berkat jasa mertuanya, Joko Widodo yang telah memilih dan melantik pimpinan KPK yang sekarang. Ya, Bobby bisa dikatakan salah satu gambaran anak muda yang beruntung.

Ia beruntung menikah dengan putri Presiden Jokowi sehingga bisa memanfaatkan jaringan mertuanya untuk menduduki singgasana politik. Tanpa pernikahan itu, Bobby bukanlah siapa-siapa.

Hanya sedikit warga orang Sumut yang mengenalnya. Mereka yang mengenal sosok Bobby sebelum menjabat barangkali bisa dihitung dengan jari, sebab anak muda ini tidak pernah lama menghabiskan waktu menetap di Sumut. Hidupnya lebih banyak dihabiskan di Lampung, Kalimantan dan Jawa.

Mungkin karena tidak lama menetap di Sumut, sehingga ia tidak peka terhadap ancaman bencana di wilayah ini. Tak heran Bobby pun menganggap alokasi anggaran penanganan bencana tidak terlalu penting. Hanya perlu sekedarnya saja. 

Makanya, begitu dilantik sebagai Gubernur Sumut, ia langsung menggeser anggaran penanganan bencana hingga menyusut tajam.

Padahal di masa Pj Gubernur Agus Fatoni, anggaran penanganan bencana -- yang termaktub dalam pos Alokasi Belanja tidak Terduga -- cukup besar. Agus telah memperjuangkan agar anggaran itu naik, dari sebelumnya Rp138,8 miliar ditetapkan DPRD Sumut menjadi Rp843,1 miliar ( naik sekitar 583 persen).

Agus sendiri merupakan pejabat asal Lampung yang mendapatkan amanah menjalankan tugas sementara di Sumut dari Kementerian dalam Negeri. Namun ia sadar bahwa ancaman bencana bukan hal yang sepele di Sumut ini sehingga ia sudah menyiapkan dana besar untuk penanganan bencana di daerah.

Tapi apa maju dikata, kebijakan Agus ini dirombak oleh Bobby Nasution. Di mata Bobby, penanganan kontruksi lebih penting ketimbang antisipasi terhadap bencana.

Lantas Bobby memperkecil biaya penanganan bencana itu. Pada APBD 2026 yang sudah disahkan Bersama DPRD Sumut pada Oktober lalu, anggaran penanganan bencana lebih parah lagi. Betapa tidak, Bobby hanya mengalokasikan anggaran tidak terduga itu sebesar Rp70 miliar. Lebih kecil lagi dibanding anggaran 2025.

Inilah bukti kalau anak muda ini sangat tidak peka bencana! Maklum pemimpin karbitan.

Pengamat anggaran Elfanda Ananda menilai kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang memperkecil anggaran penanganan bencana menunjukkan ketidakpahaman Bobby dalam menghadapi risiko bencana.

Lihat saja, anggaran yang ia siapkan untuk penangan bencana itu berada di bawah kebutuhan riil. Makanya ketika bencana banbir dan longsor terjadi di mana-mana, Bobby gagap menghadapinya. Ia mulai tampak bergerak ke lokasi bencana empat hari setelah kejadian. Padahal Kepala Badan Penanggulangan Bencana sudah bergerak  pada hari ketiga. Mereka telah mendirikan Posko di Tapanuli Utara karena jalan tembus menuju Tapanuli Tengah dan Sibolga terputus.

Bobby lantas menutupi kelambanannya itu dengan membagi-bagikan makanan dari helicopter.  Padahal pekerjaan seperti itu lebih pantas dilakukan relawan atau pegawai biasa, tidak perlu dilakukan seorang gubernur.  

Seorang gubernur harusnya bisa menyelesaikan masalah utama, bukan pencitraan dengan membawa cameramen saat melempar makanan kepada korban bencana.

Masalah utama itu, antara lain, menggerakkan peralatan berat untuk mengatasi akses jalan dan jembatan yang putus, membangun komunikasi antar relawan dan tim penanganan bencana, mengkoordinir kerjasama antar lembaga guna mengatasi masalah jaringan komunikasi yang rusak, arus PLN yang terpurus dan lainnya sehingga sarana vital itu cepat ditangani.

Yang ada, Bobby asik dengan aksinya sendiri.  Pura-pura peduli dengan korban, padahal ia tidak paham apa yang seharusnya lebih utama dilakukan. Masalah-masalah utama itu justru baru bisa digerakkan setelah tim dari kementerian dan lembaga turun dari Jakarta.

Misalnya, bagaimana Menteri Koordinator bidang Insfrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono turun ke Medan untuk menggerakkan turunnya sejumlah alat berat ke lokasi bencana untuk membuka akses jalan. Menteri Transmigrasi datang ke Medan untuk membantu penanganan desa-desa terisolir, begitu juga dengan Kementerian ESDM yang aktif mendorong perbaikan jaringan listrik. Sedangkan Bobby sibuk dengan pekerjaan bak seorang relawan.

Ketika provinsi lain ramai-ramai menggalang bantuan untuk membantu korban bencana Sumatera, Provinsi Sumut hanya bisa menerima dengan tangan terbuka. Seperti pengemis yang mengharapkan bantuan dari orang lain.

Apa mau dikata, anggaran yang  seharusnya disiapkan daerah ini untuk penangannan bencana, telah beralih ke proyek konstruksi lain.

Satu-satunya yang diharapkan Bobby adalah belas kasihan dari pemerintah pusat. Harapannya presiden berkenan mengalokasikan anggaran APBN 2026 lebih besar untuk membantu penanganan bencana di Sumut. Padahal status bencana ini adalah bencana daerah, bukan bencana  nasional.

Upaya Bobby mengharapkan belas kasihan pusat itu tampak ketika ia menyodorkan data kerugian yang diakibatkan bencana longsor dan banjir di Sumut. Bobby dengan lantang mengatakan, kerugian akibat bencana itu mencapai Rp9,98 triliun.

Entah dari mana dasar perhitungannya.  “Saya pun bingung bagaimana Bobby menghitung angka kerugian itu,” ujar  Elfanda terheran-heran.

Bisa jadi Bobby sengaja membengkakkan angka kerugian agar pemerintah pusat segera menyiapkan anggaran untuk langkah penanganan pascabencana. Sementara APBD Sumut 2026 yang seharusnya disiapkan untuk kegiatan itu terlanjur sudah diketok palu. Hanya tersedia Rp70 miliar untuk penanganan bencana.

Alamak…! Kok bisa begini Bob?

Bagi warga Sumut korban bencana, situasi ini mau tidak mau harus diterima. Bobby adalah gubernur pilihan rakyat pada Pilkada 2024 lalu. Terlepas apakah kemenangannya bersih atau curang, yang jelas Bobby adalah pemimpin di daerah ini sampai akhir 2029 mendatang.

Bahwa ia tidak paham mengenai penanganan risiko bencana, itu adalah realita yang tak terbantahkan sebab ia sejak kecil ia hidup di sangkar emas. Tak paham dengan penderitaan rakyat.

Yang dibutuhkan sekarang adalah langkah bijak dari DPRD Sumut untuk segera merevisi APBD 2026 demi penanganan pascabencana. Perubahan APBD yang seharuanya dilaksanakan pertengahan tahun, setidaknya bisa dipercepat karena dituasi darurat. Dengan demikian anggaran penanganan bencana bisa lebih diperbesar agar proses rehabilitasi dan rekonstruksi bisa dilaksanakan dengan tepat dan cepat.

Mengharapkan anggaran pusat untuk menanggulangi proses rehan rekon itu, sangat tidak mungkin sebab Sumut bukan satu-satunya wilayah yang menghadapi bencana. Ada Sumatera Barat dan Aceh yang tidak kalah perih kondisinya.

Beruntungnya Aceh dan Sumbar punya gubernur yang lebih tanggap bencana, sehingga setidaknya anggaran mereka jauh lebih besar. Sementara Sumut….. Ya, risiko punya gubernur seperti Bobby.! ***

 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini