![]() |
| Warga berjalan melintasi sungai lewat jembatan darurat di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumut, Sabtu 29 November 2025. |
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup mengaku telah mencabut izin dan menyegel delapan perusahaan yang dinilai berkontribusi memperparah banjir di Sumatera. Anehnya, Pemerintah tidak mau terbuka menyebut nama perusahaan itu.
Tapi setelah didesak, Kementerian Lingkungan HIdup mulai bersuara. Anehnya, dari 8 perusahaan yang mereka katakan disegel, hanya empat perusahaan yang disebut. Keempat Perusahaan itu adalah
- DPT Agincourt Resources
- PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE)
- PTPN III
- PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Wakil Menteri Lingkungan Hidup (LH), Diaz Hendropriyono menjelaskan empat perusahaan itu sudah disegel dan dalam pengawasan. Sedangkan nama 4 perusahaan lain masih dirahasiakan. Aneh bin ajaib.!
Menanggapi itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara menuntut Menteri Lingkungan Hidup serta Menteri Kehutanan segera mempublikasikan seluruh nama perusahaan yang diduga memperparah banjir bandang dan longsor di Sumatera. Jangan hanya empat saja.
WALHI menilai pemerintah bersikap tertutup, sehingga memicu kecurigaan publik dan membuka celah praktik-praktik yang tidak etis. Jika Pemerintah tidak mau bersikap transparan menyebut semua Perusahaan yang disegel, berarti ada sesuatu yang ditutupi.
Direktur Eksekutif WALHI Sumut Rianda Purba menegaskan bahwa keterbukaan informasi merupakan kewajiban pemerintah, utamanya ketika menyangkut perusahaan yang merusak lingkungan.
“Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan harus membuka identitas perusahaan, baik yang izinnya dicabut maupun yang masih dalam proses hukum. Kalau tidak dibuka, masyarakat tidak bisa turut mengawasi apakah perusahaan-perusahaan itu masih beroperasi dan terus merusak lingkungan atau hutan,” kata Rianda, Rabu (10/12).
Sebelumnya Menteri Kehutanan Raja Juli mengungkapkan bahwa timnya menemukan indikasi pelanggaran di 12 lokasi subjek hukum di Sumatera Utara. Namun lagi-lagi, daftar lengkap perusahaan tersebut belum diumumkan. Pemerintah beralasan penegakan hukum masih berjalan.
Rianda menilai alasan tersebut tidak dapat dijadikan dalih untuk menutup informasi. Ia menyoroti potensi kepentingan di balik sikap tertutup pemerintah.
“Sikap yang tidak transparan ini menimbulkan ketidakpastian dan rentan memicu praktik negatif, seperti pemerasan atau penyuapan agar identitas perusahaan tidak dipublikasikan, dihapus dari daftar, bahkan diganti dengan perusahaan lain. Karena itu WALHI Sumut patut menduga ada ‘transaksi’ di balik ketidaktransparanan ini,” ujarnya.
Lebih jauh, WALHI menegaskan bahwa banjir bandang tidak bisa dilihat semata-mata sebagai akibat kayu yang terbawa arus.
“Kayu-kayu itu adalah bukti lapangan bahwa deforestasi terjadi. Ini bukan fenomena baru, tetapi akumulasi dari buruknya tata kelola hutan,” tegas Rianda.
Berdasarkan riset WALHI Sumut, terdapat tujuh perusahaan yang dinilai berkontribusi besar terhadap deforestasi di bentang alam Batang Toru atau Harangan Tapanuli, yakni PT Agincourt Resources, PT NSHE, PTPN III, PT TPL (skema PKR), PT Sago, PT Sarulla Operation Limited (SOL), dan PLTMH Pahae Julu. Total deforestasi dari aktivitas tujuh perusahaan itu mencapai 10.795,31 hektare, dengan penebangan sedikitnya 3.443.939 batang pohon hutan alami. ***
