-->

Setelah Dikritik Tajam, Pemerintah Akhirnya Cabut Izin 8 Perusahaan Biang Kerok Banjir Sumatera

Sebarkan:
Gelondongan kayu hasil penebangan di hutan yang terbawa arus banjir bandang di Desa Garoga, Batangtoru, Tapanuli Selatan ( foto Antara)

Terbuti-tubi kritik diarahkan kepada pemerintah atas kasus  bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sumatera. Kritik itu muncul karena bencana itu dipastikan karena kerusakan alam, terutama tutupan hutan yang terus dibabat perusaan. Setelah mendapat serangan di sana sini, akhirnya pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mencabut izin delapan perusahaan yang diduga menjadi biang kerok banjir bandang dan longsor hebat di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq mengaku pihaknya segera menyelidiki masalah banjir dan longsor tersebut dari aspek perizinan. Menurut dia, izin operasional perusahaan di tiga wilayah itu dicabut dan akan dikaji ulang.

"Mulai dari sisi korporasi tentu kami mulai hari ini akan menarik kembali semua persetujuan lingkungan dari dokumen lingkungan yang ada di daerah-daerah bencana," kata Hanif usai rapat di Komisi XII DPR, Kamis (3/12).

"Saat ini baru terdata tujuh dari delapan. Delapannya sebenarnya belum aktif, tapi kami akan dalami lagi. Jadi ini yang di Batang Toru ya. Tetapi tentu kita harus adil," imbuhnya.

Hanif mengaku juga telah memanggil delapan perusahaan itu pada Senin (8/12) pekan depan untuk dimintai keterangan. Mereka akan diperiksa oleh Deputi Penegakan Hukum (Gakkum) KLH.

Menurut Hanif, pihaknya termasuk akan melakukan pendekatan pidana dalam temuan tersebut, apalagi jumlah korban dalam kasus itu tidak sedikit.

"Karena ini sudah menimbulkan korban jiwa, maka pendekatan pidananya akan muncul," katanya.

Hanif menduga operasional sejumlah perusahaan di Sumbar, Sumut, dan Aceh menjadi penyebab anomali cuaca dan hujan kian parah. Sebab faktanya, dari 340 ribu hektare hutan, 50 ribu di antaranya kini menjadi lahan kering.

"Dari 340 ribu hektare mungkin 50-an ribu di hulunya, itu dalam bentuk lahan kering. Tidak ada pohon di atasnya, sehingga begitu hujan sedikit, ya sudah kita bayangkan," kata dia.

Sebelumnya sejumlah Lembaga pemerhati lingkungan menyebut kalau bencana yang terjadi di Sumatera adalah akibat pengrusakan hutan yang sangat menggila. Wahana LIngkungan Hidup (Walhi), organisasi nirlaba yang focus pada pelestarian lingkungan, telah menegaskan bahwa setidaknya ada tujuh Perusahaan  yang terlibat merusak hutan di Sumut sehingga menyebabkan bencana semakin parah.

Ketujuh perusahaan itu adalah  PT Agincourt Resources (tambang emas Martabe), PT NSHE (PLTA Batang Toru), PT Pahae Julu Micro-Hydro Power, PT SOL Geothermal Indonesia, PT Toba Pulp Lestari, PT Sago Nauli Plantation, dan PTPN III Batang Toru Estate.

Sedangkan yang izinnya dihentikan Kementerian Lingkungan Hidup ada delapan Perusahaan. Satu perusahaan lagi kemungkinan berada di Sumatera Barat.

Adapun tujuh perusahaan yang disebut di atas semuanya  beroperasi di sekitar Batang Toru, habitat orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, dan satwa dilindungi lain.

Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba, menyebut tujuh perusahaan yang diduga memicu kerusakan hutan di Sumatera Utara. Rianda memerinci, kerusakan yang ditimbulkan meliputi hilangnya ratusan hektare tutupan hutan, sedimentasi sungai, fluktuasi debit air, degradasi koridor satwa, hingga alih fungsi lahan menjadi perkebunan eukaliptus dan sawit. 

Aktivitas industri ini memicu banjir bandang dan longsor.

“Banjir dan longsor bukan semata akibat hujan. Citra satelit menunjukkan hutan gundul di lokasi terdampak. Ini bencana ekologis akibat campur tangan manusia,” tegas Rianda.

Walhi, kata Rianda, menuntut pemerintah menghentikan aktivitas industri di Batang Toru, menindak pelaku perusakan, menetapkan kebijakan perlindungan ekosistem, dan memastikan kebutuhan dasar penyintas. Khusus PT Agincourt Resources, Walhi mencatat perusahaan membuka sekitar 120 hektare lahan baru, berpotensi merusak sungai dan habitat satwa. ***

 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini